Rabu, 27 Maret 2013

Selamat Yang Teroganisir.



Istilah korupsi teroganisir mengemuka di ruang-ruang publik. Sebagai gambaran kelam betapa kronisnya kejahatan ini di Indonesia. Belakangan, banyak fakta menunjukan hal ini makin tak terbantahkan.
Dan sungguh ironis banyak para penyelenggara negara terlibat sebagai dalangnya. Berbicara pada konteks para penyelenggara negara sebagai pengurus negara yang harus mengurusi negara dan rakyatnya dalam mencapai dan mewujudkan tujuan bersama.

  "Potret pengurusan hari ini yang sangat bertolak belakang bahkan jauh dari tujuan tersebut. Disini dapat kita katakan bahwa korupsi bukanlah skandal terbesar dalam drama krisis di Indoensia. Merujuk Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, yang menyebutkan bahwa “mengurus negara berarti mengurusi organisasi negara agar berfungsi dalam upaya mencapai tujuan negara melindungi, mencerdaskan, dan meningkatkan kesejahteraan segenap warga negara, serta membuat mereka bergaul bebas dan aktif dalam hubungan antar bangsa”.

  "Skandal terbesar itu adalah pengkhianatan penyelenggara negara atas tujuan dari pengurusan negara yang meletakkan keselamatan hidup manusia dan keselamatan ruang hidup yang menopangnya sebagai satu-satunya tujuan pengurusan. Potret ini sesungguhnya nampak jelas pada perluasan ekonomik dan pengurusannya di seluruh wilayah daratan dan lautan Indonesia mulai dari "tingkat" propinsi, kabupaten, kecamatan, sampai desa.

  "Lebih mendalam soal perluasan ekonomik dapat disaksikan pada bingkai eksploitasi sumber daya alam. Pengurusan dan praktik institusianal lebih mementingkan urusan ekonomi dan mengabaikan soal ekologi dan sosial. Praktik ini dengan cepat dan sukses memberikan 11.000 izin usaha pertambangan (IUP) untuk beroperasi di Indonesia. Dengan aktif pula pengurus negara memfasilitasi pelegalan, penyediaan lahan hingga jasa pengamanan. Tidak heran kalau alih fungsi lahan produksitf, ruang hidup, kawasan lindung bisa mudah dan legal.

  "Tiga tahun lalu, Ir. Hendro Sangkoyo. PhD mengatakan, “skala transformasi ruang juga berubah secara dramatis, dari modalitas agraris dengan ciri polarisasi tanah perdesaan, menjadi modalitas industrial dengan ciri penguasaan ruang berskala masif untuk setiap sektor produksi konsumsi material dan energi”.
Akibat adanya penguasaan ruang berskala masif adalah konflik lahan. Kita masih ingat kasus Bima dan Mesuji. Menyusul kemudian kasus-kasus lain hingga hari ini. Patut dicatat bahwa tidak jarang kejadian itu disertai tindak brutal aparat keamanan hingga jatuh korban jiwa.

  "Lagi dan lagi kabar tersiar warga ditembak mati karena menuntut haknya. Saat yang bersamaan kita disuguhkan bagaimana kerusakan lingkungan hidup, penghancuran hutan dan kematian satu-satu daerah aliran sungai (DAS). Krisis sosial-ekologis makin memburuk dan meluas. Pemburukan dan perluasannya tidak lain akibat peran penyelenggara negara yang melayani perluasan ekonomik semata. Begitu telanjangnya pemburukan krisis masih disangkal dan ditutup-tutupi dengan berbagai upaya.

  "Yang terkini adalah mega proyek dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sekali lagi ekonomi sebagai primadona, gula-gula pertumbuhan, kemajuan dan kemakmuran. MP3EI dengan 6 koridornya seolah bersemangat membongkar lebih luas, lebih dalam dan lebih cepat lagi.
Singkatnya penyelenggara negara saat ini berhasil menutupi krisis dengan tabir indah yang menjanjikan. Begitu terorganisir dan menyihir sehingga lupa pada keselamatan manusia dan sistem kehidupan yang menopangnya.


 
"Penulis: Andrie S Wijaya (Koordinator Jaringan Advokasi Tambang).


  "sumber: http://jatam.org/saung-berita
27 March 2013.

(bihis)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar