Rabu, 16 Januari 2013

POLITIK PENJARAHAN, MESIN UANG PARTAI POLITIK MENJELANG 2014.

Eksploitasi sumber daya alam di Indonesia memberikan ancaman nyata bagi keselamatan warga. Sepanjang 2012, kerusakan lingkungan, konflik, dan kekerasan menjadi laporan utama media nasional dan berbagai lembaga masyarakat sipil. Demikian juga laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Data menunjukan dari tahun 2009 hingga 2012 korban kekerasan terus bertambah seiring meningkatnya konflik diberbagai daerah.
Tercatat 52 korban meninggal, 64 korban tertembak, 604 ditangkap/ditahan, 321 dianiaya. Konflik tersebut meliputi tidak kurang dari 500.372 hektar luas lahan dan 69.975 kepala keluarga (KK). Tapi celakanya eksploitasi Sumber Daya Alam terus menguat dan makin brutal.

  "Banyak aktor berada dibalik beragam konflik, kekerasan, dan perusakan Sumber Daya Alam tersebut. Korporasi --baik nasional maupun transnasional—menjadi aktor utama dari seluruh konflik, kekerasan, dan perusakan alam. Sorotan terhadap praktik buruk pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh korporasi sudah sangat sering dilakukan, baik oleh media maupun lembaga-lembaga masyarakat sipil. Namun berbagai proteksi selalu saja diberikan oleh pemegang otoritas kebijakan dan politik. Korporasi berlindung di balik izin yang mereka dapatkan maupun proteksi politik dari parlemen atau partai politik. Akibatnya konflik, kekerasan, dan perusakan terus berlangsung secara sistematis.

  "Partai politik merupakan salah satu aktor yang bertanggung jawab atas tumbuh suburnya korupsi di Indonesia, termasuk korupsi di sektor pengelolaan SDA. Sudah menjadi rahasia umum sumber pendanaan dan mesin "ATM" dari partai politik adalah dari kegiatan eksploitasi sumber daya alam. Yang dilakukan oleh mereka yg menjadi fungsionaris partai, simpatisan atau mereka yang diberikan proteksi oleh partai politik. Kegiatan yang dilakukan legal atau illegal telah berdampak bagi ancaman kelangkaan bahan tambang dimasa mendatang, yang akhirnya berdampak pada hilangnya kemandirian bansa atas sumber daya alamnya.

  "Kita masih belum lupa pada laporan KPU Pemilu 2009 lalu. Keterlibatan para pengusaha atau perusahaan tambang dapat dilihat dari daftar penyumbang kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 20091. Sumber daya alam menjadi sumber jarahan untuk mendanai biaya-biaya politik di Negeri ini. Untuk melihat bagaimana “politik penjarahan” kekayaan tambang di masa ini bekerja dari produk-produk hukum yang diterbitkan secara tidak demokratis. Kebijakan ini memungkinkan komodifikasi hutan (kawasan lindung) untuk konsesi tambang hingga dukungan finansial internasional yang pada intinya menjaga kestabilan aliran bahan mentah. Tidak sedikit pula ruang hidup dan ruang publik yang sengaja diprivatisasi untuk menjamin eksploitasi tetap berjalan.

  "Sepanjang tahun 2009 hingga 2012 Indonesia mencatat ada 10.677 ijin usaha pertambangan mineral dan batubara. Kondisi ini bisa terjadi karena maraknya praktek kejahatan sektor pertambangan (korupsi) dan penyalahgunaan kekuasaan. Belum lagi di sektor perkebunan, HTI, dan lainnya Praktik kejahatan korupsi di sektor pertambangan terkait erat dengan biaya politik terutama dalam pemilukada. Kisruh tumpang tindih ijin usaha pertambangan di Kutai Timur, misalnya, diduga tidak lepas dari campur tangan dua kekuatan partai politik, Partai Gerindra dan Partai Demokrat. Kasus ini sendiri berbuntut digugatnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Pemda Kutim dan pemerintah Indonesia ke arbitrase International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington DC, Amerika Serikat.

  "Tidaklah berlebihan jika warga negara kini mengkhawatirkan mesin uang partai politik. Yang berpotensi menjarah sumberdaya alam Indonesia. Memasuki 2013 bersamaan pengumuman KPU yang menyatakan 10 Partai Politik lolos verifikasi faktual, kekhawatiran akan berlangsungnya politik penjarahan oleh partai-partai politik peserta pemilu semakin nyata. Banyaknya perijinan di sektor pertmbangan yang tidak memenuhi kriteria clear and clean menunjukan secara telanjang bagaimana politik penjarahan oleh partai-partai politik telah bekerja.

  "Carut marut perijinan merupakan salah satu sumber penjarahan. Keluarnya perijinan melibatkan pemerintah SBY dan forum koalisi parpol yang diketuai Aburizal Bakrie ( Golkar, PKS, PAN dan PPP). Awal periode pertama pemerintahan SBY (th 2004 – 2009) ijin pertambangan terus meningkat hingga kini mencapai 10.776 Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Ini berlum termasuk ijin Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) yang dikeluarkan masa orde baru, yang terus mendapat perpanjangan pada masa SBY. Indikasi penjarahan melalui ijin-ijin ini setidaknya bisa dilihat dari beberapa hal:

1. Perijinan dikeluarkan tanpa mempertimbangkan tata ruang wilayah, ataupun daya dukung lingkungan, sehingga banyak konflik yang terjadi dengan masyarakat maupun dengan kawasan lindung.

2. Perijinan banyak dikeluarkan menjelang Pilkada kabupaten, maupun Pilkada Gubenur, seperti yang terjadi di Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tenggah dan NTT.

3. Tumpang tindih perijinan yang mencapai ribuan itu dibiarkan berlangsung berlarut-larut, dan berpotensi menjadi ajang tawar menawar uang antara pemerintah dan perusahaan. Langkah akrobatik, yang tidak transparan dan manipulatif dilakukan Pemerintah pusat melalui Direktur Jenderal Mineral dan Batubara dengan melakukan Rekonsiliasi IUP pada Juni 2011. Rekonsiliasi diteruskan dengan menyerahkan sertifikat Clean and Clear. Program ini sama sekali tak menuntaskan masalah. Terbukti belakangan menuai protes dan gugatan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) . APKASI mendesak pemerintah untuk mencabut keputusan agar Izin Usaha Pertambangan (IUP) harus clear and clean (C and C ), karena dibuat tanpa dasar hukum dan merugikan pengusaha.

4.  Pembiaran pelanggaran hukum pada kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik, sehingga kerugian Negara yang timbul akibat korupsi pada sektor pertambangan tidak sedikit, tidak berhenti dan terus berlanjut. Data Dirjen PHKA sejak tahun 2004 - 2012 terdapat 1.724 kasus pertambangan melakukan pembabatan kawasan hutan secara ilegal. Apa yang masih tersisa bagi rakyat dan masa depan Indonesia bila kejahatan-kejahatan korupsi, perusakan lingkungan dan pemiskinan warga dilegalkan melalui politik penjarahan ini. Bila tidak ada kontrol dari masyarakat sipil, maka tahun 2013 ini akan benar-benar menjadi tahun berlangsungnya politik penjarahan besar-besaran berbagai bentuk aset dan kekayaan Indonesia oleh partai-partai politik peserta Pemilu.

  "Mencermati hal tersebut kami dari beberapa organisasi masyarakat sipil, JATAM, KIARA, HUMA, OCOSOC RIGHT, KONTRAS, JPIC, FORMMADA dan CSF-CJI mengajak segenap komponen masyarakat untuk bersama-sama “MENYELAMATKAN INDONESIA DARI POLITIK PENJARAHAN” dengan menyerukan masyarakat sipil Indonesia terlibat aktif mengkampanyekan penyelamatan ini. Langkah pertama dengan menjadikan 2013 sebagai tahun SOS Indonesia dari politik penjarahan.

  "Langkah ini perlu ditindaklanjuti dengan menyampaikan dan mengangkat terus menerus informasi dan data-data terkait dengan praktik politik penjarahan yang telah dan tengah berlangsung ke hadapan publik. Langkah kedua, melakukan upaya hukum terhadap pelaku korupsi di sektor pertambangan dan SDA lainnya. Langkah ketiga, mengumpulkan dan melaporkan kepada publik, partai-partai politik dan atau politisi yang terlibat dalam politik penjarahan pertambangan dan atau SDA lainnya.


Kontak  Media:

Andre S Wijaya, JATAM, hp 081294569623
Andiko, HUMA, hp 081386120260
Chalid Muhammad, Institut Hijau Indonesia, hp 0811847163
Haris Azhar, KONTRAS, hp 081513302342
Siti Maimunah, CSF-CJI, hp 0811920462
Sri Palupi, Institut Ecosoc Right, hp 081319173650
Riza Damanik, KIARA, hp 0818773515
Romo Kristo, JPIC/ Formmada, hp 081388302954


Sumber: http://indo.jatam.org/saung-pers
15 January 2013.
(Bihis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar