Menteri
Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya, Senin 3 Desember 2012, memberikan
penghargaan kepada PT Lapindo Brantas Unit Wunut sebagai perusahaan
peraih Proper Hijau. Meskipun mendapatkan penghargaan sebagai perusahaan
yang peduli lingkungan, kiranya kondisi di lapangan menunjukkan
sebaliknya.
Di
Desa Wunut kecamatan Porong misalnya, desa yang dikelilingi sumur migas
milik Lapindo sudah beroperasi sejak 1997. Desa ini tidak mendapatkan
kontribusi meski dikelilingi sumur dan pipa distribusi migas. Menurut
perangkat Desa Wunut, Mursidi, dengan diberikannya penghargaan Proper
Hijau kepada Lapindo, sangat tidak masuk akal. Sejak lima tahun terakhir
setelah terjadi semburan Lumpur Lapindo di Sumur Banjarpanji #1 (BJ-1)
di desa Renokenongo, Lapindo tidak pernah perduli terhadap kondisi desa
Wunut, padahal ada tiga Sumur di desa Wunut: Sumur Wunut 4, sumur Wunut
19, dan sumur Wunut 20.
Bahkan
menurut laki-laki berusia 43 tahun ini, Lapindo sama sekali tidak
pernah memberikan kontribusi ke Warga Wunut. “Sejak Lima tahun terakhir
lapindo sama sekali tidak peduli dengan lingkungan sekitar, padahal desa
kami dikelilingi pipa, terutama di RT 11 dan 12 persis di depan rumah
warga. Seharusnya Lapindo memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan
kepada warga kami,” ungkapnya.
Lebih
lanjut Mursidi juga tidak percaya dengan pemberian penghargaan Proper
Hijau tersebut. Menurutnya Pememrintah seharusnya melihat warga di
sekitar Sumur Wunut milik Lapindo ini. “Pemerintah seharusnya lebih jeli
melihat lingkungan di sekitar sumur, memang dampak nyata yang
ditimbulkan dari kegiatan migas ini masih belum nampak, tapi kalau
terjadi kecelakaan seperti di sumur BJ-1 siapa nanti yang bertanggung
Jawab, dan juga jika sewaktu-waktu pipa di depan rumah warga meledak
seperti pipa pertamina yang meledak dulu, siapa yang bertanggung jawab,
lha wong desa kami dikelilingi pipa migas, kami hanya dikasih kompensasi
uang sewa lahan 35 ribu per meter selama lima tahun, dan sudah habis
Oktober 2012 kemarin,” kata Mursidi dengan nada kesal.
Apalagi
masih menurut Mursidi, sejak terjadi semburan lumpur Lapindo warga di
Desa Wunut dan sekitarnya sangat trauma, dan sejak saat itu juga Lapindo
tidak pernah memperhatikan kondisi lingkungan di sekitar sumur. “Sejak
2006, Lapindo tidak lagi memberikan kompensasi kepada kami, kami pernah
mengajukan bantuan untuk pengerukan sungai di desa kami, itu juga tidak
diberikan, padahal sejak pipa miliknya di tanam di desa kami, sungai
kami tidak mampu menampung air hujan, dulu sebelum ada pipa tidak ada
jalan-jalan yang tergenang air hujan, tapi lihat saja sekarang di kiri
kanan jalan, sekarang masih ada genangan air hujan, itu persis di
bawahnya pipa milik Lapindo,” ungkapnya.
Mursidi
tidak sendiri, beberpa warga juga tidak percaya Lapindo mendapatkan
penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup. Purwaningsih, warga Siring
yang menjadi korban terbakarnya gas metan di rumahnya sampai sekarang
masih marah dengan Lapindo dan pemerintah yang sudah membuat kehidupan
keluarganya porak-poranda. Meskipun dirinya sudah mendapatkan ganti rugi
aset tanah dan bangunannya dari APBN, dirinya masih marah kepada
Lapindo dan pemerintah yang sudah menelantarkan ia dan keluarganya.
“Aneh saja mas, kalo Lapindo mendapatkan penghargaan, lha wong Lapindo
sudah membuat saya cacat begini dan tidak peduli dengan kondisi saya,”
kata Purwaningsih. Ia sampai saat ini menderita luka bakar dan belum
sembuh sejak kebakaran pada 2010 silam.
Muklis
salah satu korban semburan Lumpur juga sangat menyayangkan penghargaan
Proper Hijau yang di berikan Kementrian Lingkungan Hidup kepada Lapindo.
Menurutnya Lapindo sudah menghancurkan kehidupannya dan warga yang lain
yang tinggal di sekitar Sumur Banjarpanji #1. “Saya pikir ada maksud
tertentu dengan penghargaan ini, lihat saja, Lapindo sudah membuat
ribuan warga kehilangan rumah, kami sangat menyayangkan dengan
penghargaan ini, seharusnya pemerintah mendesak Lapindo bertanggung
jawab, tidak malah memberikan penghargaan,” ungkapnya. Lebih lanjut
Muhlis mempertanyakan dasar penilaian penghargaan Proper Hijau. “Kami
tidak tahu, bagaimana cara pemerintah melihat Lapindo berhak mendapatkan
penghargaan, tapi kami menilai Lapindo sudah menghancurkan kehidupan
warga Porong dan sekitarnya,” ungkapnya.
Wahana
Lingkungan Hidup(WALHI) Jawa Timur mencatat, ada perubahan kesehatan
warga sejak 2006 hingga 2010 di tiga Puskesmas sekitar semburan lumpur
di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin. Tren penyakit tertinggi
adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut(ISPA). Kualitas udara yang buruk
setidaknya telah meningkatkan jumlah penderita ISPA lebih dari dua kali
lipat sejumlah 52 ribu pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2006 yang
berjumlah 24 ribu jiwa. Tidak hanya itu, hasil penelitian Walhi
menunjukkan kandungan logam berat pada lumpur Lapindo dan area
sekitarnya: timbal, kadmium, dan beberapa lainnya. Ditemukan pula
kandungan Polycyclic Aromatic Hydrocarbons(PAH) jauh di atas ambang
batas.
Alih-alih
melakukan tindakan pencegahan perluasan, pemerintah bahkan
mempromosikan area semburan lumpur Lapindo menjadi tujuan wisata minat
khusus. Demikian halnya dengan pengolahan bahan kimia dan logam berat,
lumpur hanya ditampung dan dilokalisir menjadi pulau baru di muara
sungai Porong, dinamakan Sarinah. Tentu saja kawasan lahan basah, sungai
pertambakan dan laut, terkena dampak serius selama enam tahun terakhir.
Produksi udang misalnya, salah satu perusahaan eksportir udang windu di
Sidoarjo mengalami penurunan hingga lebih dari separuh jumlah produksi.
Jika sebelum lumpur Lapindo produksi udang ekspor per dua minggu 14
ton, tiga perempat dari jumlah ini dispulai dari tambak di Sidoarjo.
Kini meski jumlah ekspor sama, namun tinggal sepertiga saja yang
dihasilkan dari tambak di Sidoarjo.
Sama
halnya dengan korban lumpur Lapindo yang lain, M. Irsyad, warga Besuki
juga menyayangkan pemerintah yang bertindak selalu membela Lapindo. Ia
paham benar selama ini tidak ada sedikitpun tindakan pemerintah untuk
melindungi korban Lapindo. Untuk lingkungan desanya yang rusak misalnya,
tidak ada tindakan pemulihan sejak 2006 hingga sekarang. Demikian
halnya dengan jaminan kesehatan bagi warga yang terkena dampak buruknya
kualitas lingkungan sekitar semburan, tidak ada jaminan kesehatan khusus
selain Jamkesmas dan Jamkesda. Untuk mendapat keringanan warga harus
berbekal Surat Keterangan Tidak Mampu(SKTM). Kondisi ini yang mendorong
perempuan korban Lapindo di Besuki dan beberapa desa lain membuat
kelompok iuran kesehatan. "Kalau Lapindo disebut menjadi pahlawan
lingkungan, mereka yang memberi sudah sakit jiwa semua," ujar
Irsyad.(nov/cat).
"sumber: http://indo.jatam.org/saung-berita 18 December 2012.
"sumber: http://indo.jatam.org/saung-berita 18 December 2012.
(Bihis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar