Rabu, 21 November 2012

Ancaman terhadap ‘Kabupaten Bahari’, Pemkab Sangihe Menabung “Malapetaka” melalui Tambang Rakyat.

21/11/2012.
Salah satu karakter penting kabupaten Kepulauan Sangihe adalah rawan bencana. Fakta menunjukkan bahwa di setiap dekade masyarakat pesisir  merasakan dan melihat terjadinya fenomena luas daratan (pulau) mulai mengecil karena abrasi. Bahkan, secara kasat mata nampak dan dirasakan masyarakat adalah longsor, banjir,  gempa bumi, dll yang sering melanda pada beberapa tahun terakhir ini.

Perubahan Iklim (climate change) sudah menjadi ancaman sangat serius bagi seluruh manusia yang hidup di bumi. Karenanya, badan-badan dunia internasional yang memahami persoalan ini merancang berbagai program penyelamatan lingkungan untuk diimplementasikan seluruh negara-negara di dunia untuk mencegah dan mengantisipasi  semakin lajunya penipisan ozon.  
Di Indonesia, lahirnya UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengamanatkan Pulau Sangihe sebagai wilayah konservasi. Untuk itu, yang harus dilakukan adalah upaya pelestarian lingkungan untuk mitigasi bencana serta kegiatan-kegiatan yang menggugah kesadaran masyarakat untuk ikut andil mencegah dan meminimalisir bencana, bukannya memicu terjadinya bencana dengan seperti halnya penambangan emas skala besar maupun penambangan tanpa ijin yang dilakukan oleh masyarakat.  
Sebagai sebuah wilayah kepulauan, telah diketahui oleh public bahwa pemerintah kabupaten sudah mencanangkan Sangihe adalah KABUPATEN BAHARI. Jelaslah bagi kita, unggulan utamanya adala sector perikanan, yang ditopang dengan pertanian dan pariwisata.
Di tahun pertama pemerintahan Bupati dan Wakil Bupati pasangan Drs. H. Makagansa M. Si dengan Jabes Gaghana, mulai nampak kemajuan yang signifikan di berbagai bidang pembangunan, termasuk diraihnya sertifikat penghargaan Adipura tahun 2012, bahkan kemudian Senin, 19 November 2012  lalu  disusul pula dengan Trofi penghargaan Raksaniyata yang diterima langsung oleh Bupati di istana wakil presiden dari Kementrian Lingkungan Hidup merupakan bukti keberhasilan Pemkab dan masyarakat Sangihe dalam mempertahankan dan menjamin kelestarian lingkungan hidup.  
Ke depan,  hal ini harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata dan lebih tegas di lapangan.
Karena, saat ini di beberapa titik hutan  yang di sebut Dalo, Pangaluang, Ulune (di kecamatan Tamako) telah masuk ratusan penambang rakyat yang berasal dari masyarakat local maupun kecamatan tetangga lainnya untuk melakukan penambangan tanpa ijin.    
Berkaca dari berbagai pengalaman di banyak wilayah pertambangan emas maupun jenis pertambangan lainnya bersifat menguras habis kekayaan alam, dan merupakan metode pembangunan yang tidak berkelanjutan, merusak lingkungan secara massif,  bahkan menghasilkan limbah (tailing-B3)  yang  berpotensi mengkontaminasi manusia.
Aktivitas pertambangan baik skala besar maupun kecil otomatis mematikan sektor perikanan, pertanian dan pariwisata.
Jull Takaliuang, Direktur Yayasan Suara Nurani Minaesa mendesak Pemkab Sangihe untuk segera bertindak tegas dan persuasive menghentikan semua aktivitas pertambangan tanpa ijin  yang berpotensi merusak lingkungan. Karena wilayah-wilayah yang dirambah penambang tersebut merupakan catchment area (wilayah tangkapan air) yang harus di lindungi. Beberapa hulu sungai yang seperti sungai Peliang yang memanjang dari Ulung Peliang sampai Tamako, Sungai Kalinda, Sungai di kampong Dagho, dan beberapa anak sungai lainnya merupakan sumber air vital yang dimanfaatkan oleh masyarakat.
Adanya danau kecil di kampong Menggawa II, di duga merupakan ‘patahan bumi’ yang semakin hari semakin amblas ke dalam bumi. Sehingga beberapa rumah masyarakat yang dekat dengan retakan-retakan tanah tersebut sangat terancam keselamatannya. Hal ini menjadi peringatan keras bagi Pemkab dan masyarakat untuk berhati-hati dengan perubahan bentang alam yang ditimbulkan akibat penggalian lubang-lubang tambang yang sementara dibuat di wilayah Pangaluang. Sebab bukannya tidak mungkin, ‘patahan’ ini akan lebih amblas saat terjadi gempa bumi maupun hujan deras secara terus menerus. 
Perhatian pemkab dan kerjasama masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjamin keselamatan eksosistem pulau Sangihe bahkan keselamatan manusia yang menghuninya.
Oleh sebab itu, penanganan dini untuk menghentikan aktivitas pertambangan rakyat di beberapa titik tersebut harus segera dilakukan. Selain jumlah penambang sudah mulai banyak, mobilitas mesin-mesin baik untuk pembangkit listrik maupun untuk pompa air sudah mulai dimasukan oleh beberapa oknum ‘bos’ yang berperan menjadi pemodal.
Dari informasi yang dihimpun,  tromol untuk mengelola ore (rep) akan dioperasikan di hilir sungai di kampong Kaluwatu, bahkan ada juga yang akan di tempatkan di Kawio.
Pengalaman sering terjadinya banjir di kampong Laine di setiap musim penghujan merupakan pelajaran penting bagi Pemkab dan masyarakat Sangihe tentang dampak buruk pertambangan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat. Miliaran dana APBD akan dikuras hanya untuk memperbaiki sarana dan infrastruktur yang selalu rusak akibat terjangan banjir. Demikian pula kerugian material yang harus dialami oleh masyarakat yang tidak berdosa, sebab tidak terlibat dalam aktivitas penambangan tersebut.
Konflik horizontal di masyarakat mulai muncul akibat saling klaim lahan yang diduga berpotensi memiliki kandungan emas. Kerukunan dan kekeluargaan yang dahulunya sangat erat kini  mulai retak.
Ini baru ‘friksi permulaan’, dari hadirnya sebuah pertambangan rakyat. Konflik-konflik lainnya akan segera menyusul ketika Pemkab sudah tidak berdaya lagi mengantisipasinya disaat ledakan jumlah penambang semakin banyak,  dan tingkat kesulitan akan semakin besar ketika mereka (para penambang) sudah mulai mendapatkan hasil. Resistensi akan sangat kuat dilakukan termasuk dengan ‘menyogok’ oknum-oknum aparat penegak hukum maupun pemerintah yang berkompeten. 
Karenanya, Pemkab dan Aparat Penegak Hukum harus segera mengambil langkah tegas sebelum meledaknya berbagai konflik pertambangan rakyat seperti di Picuan, Bolmong maupun di Boltim. Anarkisme di wilayah pertambangan rakyat di wilayah-wilayah ini telah menimbulkan dampuk buruk dan kerugian baik bagi masyarakat dan pemerintah setempat.
Guna menghindari terjadinya hal-hal buruk seperti di atas, Pemerintah dan masyarakat Sangihe harus mengeloloa SDA  Sangihe secara berkelanjutan untuk keselamatan lingkungan maupun untuk penghuninya.
Perikanan, Pertanian Organik dan Pariwisata  akan mampu membuat Sangihe Maju dan Berkembang sejajar dengan kabupaten lain di Sulawesi Utara maupun di Indonesia.  

Manado, 21 November 2012.
Yayasan Suara Nurani Minaesa.

Jull Takaliuang (081340017722).

''Sumber: http://indo.jatam.org/saung-berita 21 November 2012.
(Bihis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar