Sabtu, 13 Oktober 2012

Bank Dunia Mendorong Spekulasi Pangan dan Perampasan Tanah dan Air.

13/ 10/ 2012.
Menyikapi pertemuan tahunan IMF-WB, 9-14 Oktober 2012, Tokyo, Jepang.
Jakarta.Pada tanggal 9-14 Oktober 2012 diadakan pertemuan tahunan IMF dan World Bank di Tokyo, Jepang. Meskipun dengan terpilihnya Jim Yong-kim sebagai presiden Bank Dunia yang baru, namun kebijakan Bretton Wood Institutions ini tidak akan berubah. Agenda neoliberal masih menjadi agenda utama, meskipun krisis finansial 2008 menunjukkan bahwa sistem kapitalisme-neoliberal menyorong dunia dalam krisis yang terus berulang.
Laporan terbaru the State of Food Insecurity 2012-FAO menyebut jumlah kelaparan dan kurang gizi di dunia mencapai 870 Juta orang antara tahun 2010-2012, jumlah tersebut 14,9 % dari total penduduk bumi. Jumlah kelaparan dan kurang gizi sempat turun pada tahun 2006-2007, namun akibat krisis finansial dunia pada tahun 2008 jumlah angka kelaparan dan kurang gizi tidak mengalami penurunan yang signifikan. Hingga hari ini, 1 dari 8 orang di dunia mengalami kelaparan dan kurang gizi. Sebanyak 40,1%  ibu hamil dan 26,4% perempuan usia subur menderita anemia, akibat krisis pangan (data Departemen Kesehatan 2002) . Tingginya angka tersebut, menunjukkan bahwa perempuan belum ditempatkan sebagai penerima pangan utama, baik dikeluarga, komunitas dan negara.

Krisis finansial pada tahun 2008 tersebut pada akhirnya merembet menjadi krisis harga pangan dunia. Pada tahun 2008 indeks harga pangan naik drastis, antara tahun 2002-2008 meningkat 85%. kenaikan harga pangan tersebut juga masih kita rasakan sampai hari ini. Salah satu penyebabnya adalah spekulasi komoditas pangan oleh bank-bank besar dan lembaga keuangan internasional yang terpuruk akibat krisis finansial, akhirnya mereka berbondong-bondong menjadikan tanah dan pangan sebagai barang spekulasi baru.
Meskipun menyadari dampak volatilitas harga pangan terhadap masyarakat miskin di seluruh dunia, rekomendasi kebijakan Bank Dunia justru mendorong investasi besar-besaran di sektor pertanian utamanya di negara-negara Afrika dan Asia. Akibatnya, terjadi land rush, mendorong terjadinya perampasan tanah  (land grabbing) yang melibatkan sekitar 203 juta hektar lahan sejak tahun 2001-2010 (landportal.info).

Tidak hanya lahan pertanian, fenomena perampasan tanah juga terjadi di wilayah pesisir. Dalam perampasan wilayah pesisir, terjadi melalui proyek-proyek perlindungan ekosistem laut melalui dana utang dalam proyek Coral Triangle Initiative yang dibiayai melalui mekanisme swasta lewat CTI Bussiness Summit. Proyek CTI akan meminggirkan dan membatasi akses nelayan untuk menangkap ikan di perairan tradisionalnya, seperti yang sudah terjadi di Lamalera, Nusa Tenggara Timur.

Termasuk pula bentuk ancaman perampasan air melalui skema Karbon Biru yang menjadi modalitas untuk mekanisme pasar atas biodiversitas laut, di antaranya pasar karbon yang mekanismenya menyerupai dan sudah dimulai oleh REDD/ REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation).
Karbon Biru tidak dapat menyentuh perbaikan baik pada aspek sosial maupun ekologi. Keduanya tak dapat dipisahkan, apalagi solusi seperti yang diuraikan Bank Dunia sekedar memastikan stok karbon (dengan indikator luasnya kawasan konservasi perairan). Di sisi lain, tidak mencakup upaya perbaikan dari hulu, yakni menghentikan ekspansi konversi kawasan pesisir, industri tambang, ekspansi kawasan privat-wisata dll.

Kepentingan perusahaan multinasional dan transnasional, World Bank dan lembaga keuangan internasional lainnya terhadap sektor pangan, juga tercermin pada berbagai kebijakan nasional, salah satunya Revisi UU No.7 Tahun 1996 Tentang Pangan. Peluang impor pangan, penguasaan sumber pangan oleh pihak swasta, permainan spekulan harga pangan, telah mengancam kearifan lokal perempuan, membatasi akses dan kontrol perempuan dalam pengelolaan sumber daya pangan, menghilangkan sumber ekonomi perempuan dan menghilangkan peran perempuan dalam produksi, konsumsi dan distribusi pangan. 

Hak perempuan atas pangan semakin termarginalkan dalam Revisi UU Pangan ini, dimana pengalaman dan pengetahuan perempuan tidak dijadikan landasan pembuatan kebijakan pangan. Revisi UU Pangan berpotensi melanggengkan pelanggaran hak perempuan dan ketidakadilan terhadap perempuan atas pangan yang sampai saat ini belum di lindungi dan dipenuhi oleh negara.
Selain itu, alih-alih mendorong regulasi yang lebih ketat terhadap praktek spekulasi pangan, Bank Dunia justru menggandeng JP Morgan mengeluarkan instrumen pendanaan baru dikhususkan bagi negara berkembang. Instrumen untuk lindung nilai (hedging) komoditas pertanian tersebut bernilai total 400 Juta USD, masing-masing berasal dari Bank Dunia (200 juta USD) dan JP Morgan (200 juta USD). Jelas ini solusi yang salah, Bank Dunia lewat salah satu lembaga sayapnya yaitu International Finance Corporation (IFC) justru bekerja sama dengan spekulan pangan seperti JP Morgan untuk mentransfer pola spekulasi yang sama ke negara berkembang.

Bank Dunia bersama G20 juga menjadi pendukung terjadinya fenomena perampasan tanah (land grabbing) seperti yang terjadi di banyak negara di dunia. Bank Dunia adalah salah satu pemain besar dalam investasi pertanian. Investasi Bank Dunia untuk sektor pertanian naik tiga kali lipat dari 2,5 milyar USD pada tahun 2002 menjadi 6-8 Milyar USD pada tahun 2012. 
Diperparah lagi dengan diterbitkannya prinsip Responsible Agricultural Investment (RAI) oleh Bank Dunia, RAI justru menjadi legitimasi pola pencaplokan lahan yang dilakukan oleh pemodal besar. Jika hal ini diimplementasikan, petani kecil di pedesaan jelas akan semakin terpuruk, mendorong terjadinya konflik menghilangkan sumber ekonomi perempuan, potensi menguatkan ketidakadilan gender dan potensi pelanggaran hak perempuan atas pangan. Tanah akan semakin berpotensi dikuasai oleh kaum pemodal baik nasional maupun asing dan produsen besar.

Rekomendasi kebijakan Bank Dunia ini harus segera dihentikan, terlebih dengan Presiden Bank Dunia yang baru seharusnya kebijakan seperti ini tidak dilanjutkan, evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan Bank Dunia di sektor pertanian harus segera dilakukan sebagai upaya untuk koreksi internal. Lebih penting lagi, pemerintah negara berkembang khususnya Indonesia harus berhenti mendengarkan Bank Dunia dan mendorong kebijakan pangan di tingkat lokal dan nasional menuju kedaulatan pangan.

Jakarta, 12 Oktober 2012

Koalisi Anti Utang (KAU)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Serikat Petani Indonesia (SPI)
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)
Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
Field Indonesia
Solidaritas Perempuan (SP)
Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Lembaga Studi-Aksi Untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI)
Green Student Movement (GSM).

''Sumber: http://indo.jatam.org/saung-pers/siaran-pers 12 October 2012.



(Bihis)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar