Jumat, 01 Juni 2012

PULIHKAN HAK RAKYAT, LAWAN PEMBODOHAN DAN LUPA.

Tanah air kita terus digali, dikuras habis dan dijual murah. Rakyat selalu saja menjadi obyek
pembodohan dan dikorbankan. Setelah tragedi penembakan tiga petani tahun lalu di Bima NTB, daftar
panjang rakyat dikorbankan demi industri pertambangan terus bertambah. Tahun ini tiga petani pulau
Sumba divonis sembilan bulan penjara, karena kukuh mempertahankan tanahnya yang dirampas
perusahaan tambang Australia.
Di Porong Sidoarjo, genap 2190 hari warga terus dalam keterancaman
karena semburan lumpur Lapindo. Skandal kasus Lapindo tidak saja menguras kas negara juga
menghancurkan kehidupan puluhan ribu warga di sana.

Hampir 34 persen daratan Indonesia telah diserahkan pada korporasi lewat 10.235 ijin pertambangan
mineral dan batubara (minerba). Itu belum termasuk ijin perkebunan skala besar, wilayah kerja migas,
panas bumi dan tambang galian C. Kawasan pesisir dan laut juga tidak luput dari eksploitasi, mulai
lebih 16 titik reklamasi, penambangan pasir, pasir besi dan menjadi tempat pembuangan limbah tailing
Newmont dan Freeport.

Demikian juga hutan kita, setidaknya 3,97 juta hektar kawasan lindung terancam pertambangan, tak
luput keanekaragaman hayati di dalamnya. Padahal saat ini Indonesia tercatat sebagai negara yang
memiliki daftar species terancam punah terbanyak di dunia, mencakup 104 jenis burung, 57 jenis
mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan air tawar dan 281 jenis tumbuhan.

Daya Rusak Tambang.
Tak hanya hutan, sungai kita pun dikorbankan. Jumlah daerah aliran sungai (DAS) yang rusak parah
meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Sekitar 4.000 DAS yang ada di Indonesia sebanyak 108 DAS
mengalami rusak parah. Selain menyerobot fasilitas publik seperti jalan, juga menggunakan sungai
sebagai tempat pembuangan limbah. Sungai Bengkulu dinyatakan tercemar karena limbah batu bara.
Sungai Bengkulu misalnya tercemar limbah batu bara dari Lima perusahaan tambang batu bara yakni
PT Danau Mas Hitam, PT Bukit Sunur, PT Inti Bara Perdana, PT Kusuma Raya Utama dan PT Ratu
Samban Mining. Menurut Data 2011, tercatat 82 persen air sungai di seluruh provinsi sudah tergolong
kelas 3 dan 4 atau masuk kategori tercemar berat.

Celakanya praktek pencemaran sungai dan laut ini dilindungi apratur negara. Tak mengherankan bila
gugatan Tata Usaha Negara yang diajukan Koalisi Pulihkan Indonesia dikalahkan dalam sidang PTUN
Jakarta, Selasa (3/4/2012). Pada 29 Juli 2011, mereka menggugat Menteri Negara Lingkungan Hidup
yang memperpanjang ijin pembuangan tailing PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) Proyek Batu
Hijau pada 5 Mei 2011.
Lubang-lubang tambang juga dibiarkan menganga. Di Bangka Belitung lebih seribu kolong tambang
timah dibiarkan tak diurus. Di Samarinda ada 150 lubang tambang. Dua lubang diantaranya telah
menyebabkan 5 anak tewas tenggelam tahun lalu.

Tak cuma tanah dan air, udara sehat pun dirampas. Udara tercemar akibat pertambangan menjadi
penyebab gangguan pernapasan. Dinas Kesehatan Kota Samarinda mencatat penderita penyakit saluran
pernapasan atau ISPA sejumlah 17.444 kasus hingga awal 2011. Sekitar 71% wilayah Samarinda kini
konsesi pertambangan. JATAM menyebut kota ini sebagai Kota Tidak Layak Anak. Pertambangan
disana menjamin lahirnya generasi suram Kalimantan Timur. Mereka yang tumbuh dan besar pada
kawasan sekitar tambang yang menjadi langganan banjir, sungainya tercemar, jalan-jalannya rusak dan
berdebu beresiko terhadap pernafasan. Belum lagi sumber ekonomi makin sulit bersama hilangnya
wilayah kelola warga.

Sumber: Briefing Paper Hari Anti Tambang (HATAM), 29 Mei 2012.


(Bihis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar