Jumat, 01 Juni 2012

Enam Tahun Lumpur Lapindo.

Sidoarjo korban daya rusak tambang migas. Semburan lumpur Lapindo tidak hanya membawa material
padatan atau cairan, tapi juga gas. Warga porong dipaksa menghirup gas beracun 6 tahun terakhir.
Ratusan anak terancam putus sekolah akibat semburan lumpur Lapindo. Kualitas hidup mereka lambat
laun mengalami penurunan akibat hilangnya kehidupan sosial, ekonomi, kesehatan dan pendidikan.
Semburan lumpur panas ini pernah mencapai hingga 150 ribu meter kubik per hari. Lumpur Lapindo
menenggelamkan puluhan ribu rumah. Pada tahun pertama saja, setidaknya sudah lebih dari 45 juta
meter kubik lumpur yang disemburkan dan telah menenggelamkan pekarangan, sawah, kampung, serta
pabrik-pabrik tempat bergantungnya puluhan ribu buruh industri. Kini, harta rakyat ludes. Lebih dari 10
ribu rumah dan 900 hektare area terkubur. Lebih 75 ribu warga telah kehilangan tempat tinggal.

Diluar kerugian materiil tenggelamnya tanah dan bangunan, berbagai permasalahan kesehatan timbul.Tercatat lebih 13 warga meninggal tanpa kejelasan diagnosis. Sesak, kanker, dan tumor menjadi ingatan
keluarga yang ditinggalkan. Terakhir, kematian akibat bunuh diri karena stress pada Mei 2012. Jumlah
penderita ISPA di puskesmas Porong terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam empat tahun sejak
lumpur menyembur, meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 24,7 ribu pada 2005 menjadi lebih dari
52,5 ribu pada 2009. Angka serupa ditunjukkan Puskesmas Jabon dan Tanggulangin, ISPA selalu
menempati urutan penyakit tertinggi sejak 2006.

Pengecekan kesehatan melalui general check up yang difasilitasi Jatam-Walhi Jatim-PoskoKKLula pada
2010 terhadap 20 korban lapindo dari beberapa desa sekitar semburan menunjukkan lebih 75%
abnormal untuk Haematologi lengkap dan 50% kondisi abnormal pada pengecekan melalui USG.
Pemburukan situasi ini tak lepas dari temuan bahan berbahaya yang terkandung dalam lumpur Lapindo.
Lumpur Lapindo mengandung logam berat, terutama timbal (Pb) dan Kadmium(Cu) dengan konsentrasi
ribuan kali lipat diatas ambang baku (Walhi Jatim, 2007).

Lumpur juga menyebabkan tanah-tanah produktif yang tersisa milik warga rusak tak bisa ditanami. Di
Besuki saja, lebih delapan belas hektar sawah tak bisa ditumbuhi Padi sejak diluberi lumpur. Hingga
kini tak ada kejelasan upaya untuk memulihkannya. Begitu pula pemulihan fasilitas pendidikan, sekitar
33 sekolah tenggelam dan rusak karena lumpur Lapindo.

Namun daya rusak tambang migas yang menghebat di negeri ini ternyata tak menjadikan warga di
sekitar tambang kulitasnya lebih baik. Belum lagi ketergantungan yang tinggi konsumsi bahan bakar
energi fosil. Ketergantungan ini kerap dijadikan permainanan politik lewat kenaikan harga BBM saat
harga minyak dunia naik. Sementara pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan hanya
sebatas wacana, selesai pada cetak biru saja. Jelas tidak ada upaya serius membangun kedaulatan energi
bangsa ini. Tak hanya bermasalah di bagian produksi energi, negeri ini membutuhkan segera
transformasi politik-energi menuju sesuatu yang sungguh-sungguh membebaskan. Tidak berputar-putar
di urusan naik atau tidaknya harga migas.


Pulau-pulau Rentan Dampak Perubahan Iklim.
Kita mempunyai garis pantai terpanjang di dunia. Laut dan perairan pantainya mengandung 10%
keragaman hayati laut dunia. Meski disebut kaya, Indonesia adalah negara kepulauan, termasuk pulau-
pulau kecil yang rentan dan butuh penangganan tersendiri. Belum lagi menghadapi dampak perubahan
iklim bersama kenaikan suhu, cuaca ekstrim dan kenaikan muka laut. Pulau-pulau ini tak akan bertahan
jika terus menerus dieksploitasi dan mengalami alih fungsi menjadi kawasan tambang.

Pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara sekitar 55% dari 86,769 ha luas pulau dikapling Pertambangan.
Sementara di Sulawesi Utara, sekitar 27% persen dari 4.800 ha luasann pulau Bangka dikapling oleh
PT. Mikgro Metal Perdana, juga Pulau Lembata yang 72,32% luas pulau akan ditambang PT. Merukh
Enterprise. Tak jarang luas konsesi telah melebih luasan pulau, seperti pulau Sebuku yang luasnya
24.555 ha dikuasai PT. Bahari Cakrawala Sebuku dan PT. Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) dengan
total konsesi 26.000 ha, demikian pula pulau Gag yang hanya 6500 ha luasnya dikuasai PT. Gag Nikel
dengan konsesi 7.727 Ha ha.

Alih fungsi kawasan pesisir menjadi pertambangan membuatnya lebih rentan terhadap serangan banjir
rob hingga tsunami. Climate Change Synthesis Report, lima tahun lalu menyebutkan pesisir dan laut
adalah wilayah teramat rentan dampak perubahan iklim. Selain erosi pantai, perubahan iklim juga
mendorong terjadinya kenaikan permukaan air laut. Bahkan Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC), memperkirakan tahun 2080 mendatang, jutaan manusia bakal dipaksa membiasakan
diri dengan banjir. Celakanya pemerintah justru mHari Anti Tambang (HATAM), 29 Mei 2012.enempatkan warga pesisir dalam bahaya besar. Sebab
sepanjang pesisir pulau-pulau sunda kecil, Jawa hingga Sumatera penuh dengan ijin dan pengerukan
tambang pasir besi yang terus menerus mengikis pesisir.

Sumber: Briefing Paper Hari Anti Tambang (HATAM), 29 Mei 2012.

(Bihis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar