Sabtu, 06 April 2013

Informasi AMDAL adalah Hak Rakyat.


Catatan Kemenangan Sengketa Keterbukaan Informasi Amdal Pertambangan di Kota Samarinda.
Akhirnya, Badan Lingkungan Hidup (BLH) terpaksa menyerahkan secara periodik 63 Dokumen AMDAL / UKL-UPL seluruh Pertambangan Batubara Se-Samarinda kepada JATAM Kaltim sejak 21 Maret 2013 lalu.
Ini buah sengketa 6 bulan lamanya di Komisi Informasi Publik Daerah (KIPD) Kaltim, yang diajukan JATAM Kaltim setelah BLH Samarinda menolak menyerahkan dokumen Amdal perusahaan tambang yang beroperasi di Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur.

  "Merekabahkan mendapat Aanmaning atau teguran sebelum penyitaan paksa oleh juru sita PN samarinda, karena selalu mengingkari keputusan KIP yang telah berkekuatan hukum tetap. Awalnya BLH menolak memberikan data Amdal seluruh pertambangan batubara se-kota samarinda, dengan menggunakan berbagai alasan, mulai dari alasan legalitas kelembagaan lembaga peminta data hingga alasan kerahasiaan dokumen negara.

  "Padahal JATAM Kaltim memerlukan dokumen ini untuk mengetahui bagaimana rencana dan praktek perusahaan mengurus lingkungan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan,Amdal merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

  "Sementara Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) merupakan upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL. Saat ini Kota Samarinda sedang mengalami “darurat lingkungan” , karena 71 persen luas kota telah dikapling 63 Ijin Usaha Pertambangan Batubara yang menghasilkan beragam bencana, yang terus meluas.

  "Sepanjang 2011 - 2012 saja. Sedikitnya enam warga kota samarinda yang tewas di lubang tambang, karena perusahaan-perusahann tamabng tak mereklamasi lahan bekas tambangnya. Bahkan lima Sekolah Dasar dan Menengah yang rusak karena longsor dan banjir lumpur akibat tambang batubara. Tak hanya itu, sedikitnya 40 persen warga Samarinda terpapar ISPA, salah satunya karena debu operasi pertambangan di kawasan padat penduduk.

  "Banjr yang menjadi langganan sejak pengerukan batubara meningkat di kawasan hulu, kini makin meluas dari 29 menjadi 35 titik hanya dalam 2 tahun terakhir. Perusakan kawasan resapan serapan air dan hulu DAS Mahakam oleh pengerukan batubara penyebab utamanya. Masih banyak lagi bencana yang harus ditanggung warga Samarinda, akibat industri keruk ini.

  "Celakanya, Amdal yang merupakan alat untuk memperkecil dampak operasi pertambangan batubara itu justru dosebut sebagai “dokumen rahasia negara”, disembunyikan dan enggan dibuka ke publik oleh Pemerintah daerah, khususnya BLH kota Samarinda. Sikap BLH Kota samarinda ini jelas mengancam keselamatan rakyat. Keselamatan rakyat tak ada dalam perbincangan investasi pertambangan batubara di Samarinda, buktinya AMDAL dirahasiakan dari publik.

  "Padahal setiap warga negara, masyarakat kabupaten/kota, masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lokasi tambang batubara merupakan pihak yang paling rentan menerima dampak langsung maupun tidak langsung dari operasi pertambangan. Warga menerima dampak yang tidak sedikit, sebut saja misal alihfungsi pertanian yang berimbas pada tergusurnya mata pencaharian, pencemaran udara dan sumber-sumber air warga karena operasi pertambangan batubara, kerusakan jalan karena penggunaan jalan untuk pengangkutan batubara, perubahan rona fisik atau bentang alam bahkan hingga kejadian kecelakaan operasi tambang dan dampak pada kesehatan.

  "Itulah mengapa akses dan keterbukaan informasi publik mengenai amdal operasi pertambangan batubara wajib diketahui dan dimiliki warga.

  "Informasi adalah Hak Rakyat.
Sejak 2008 telah diberlakukan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) No 14 Tahun 2008, yang menjamin tiap warga negara dan kelompok masyarakat memiliki hak mendapatkan informasi, bagi badan publik yang tak menyediakan dan menaati UU ini pidana penjara salah satu ganjarannya. Inilah alasan JATAM Kaltim memperkarakan BLH Kota Samarinda, melaporkannya ke Komisi Informasi Publik Daerah, yang telah dibentuk berdasarkan UU tersebut.

  "JATAM Kaltim meminta BLH membuka dokumen Amdal kepada publik. Mengapa dokumen Amdal? Sebab Amdal menyebutkan apa yang harusnya dilakukan perusahaan terhadap lingkungan. Amdal tak bisa menihilkan daya rusak akibat pertambangan, hanya mampu meminimalisirnya. Karenanya Amdal berpeluang menjadi salah satu “alat kontrol”kerusakan akibat pembangunan dan meminimalisir dampaknya. Jika Amdal berada pada tangan yang tepat dan yang berhak.

  "Meskipun pihak Kementrian Lingkungan Hidup melansir 70-80 persen amdal yang dinilai komisi di kabupaten/kota berkualitas buruk hingga sangat buruk. Tapi hanya dokumen inilah yang tersedia. Harusnya, Amdal harus jadi salah satu alat untuk meningkatkan “derajat” keselamatan rakyat dikawasan operasi pertambangan, bukan hanya formalitas dan menjadi bancakan mafia dan pemburu rente semata.

  "Setelah enam bulan bersengketa di Komisi KIP, JATAM Kaltim memenangkan tuntutannya. Ini kemenangan sengketa informasi lingkungan hidup pertama di Indonesia. Peristiwa ini diharapkan menjadi “Jurisprudensi hidup”, artinya sejak kemenangan kasus ini, lembaga pemerintah yang berwenang di pusat maupun daerah, baik Kementrian Lingkungan Hidup hingga BLH tak boleh lagi menolak jika warga negara meminta dokumen Amdal.

  "Harapan lainnya, ini mendorong individu warga negara atau kelompok masyarakat melakukan hal yang serupa dikawasan masing-masing. Sebab, Informasi lingkungan hidup adalah hak warga negara. Bagian tak terpisahkan dari janji konstitusi yang termaktub dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No 32 Tahun 2009, bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak setiap warga negara.

  "Merah Johansyah Ismail (Kepala Divisi Hukum JATAM Kaltim).
  "Sumber: http://indo.jatam.org/saung-berita 05 April 2013.
(Bihis)


1 komentar: