Sabtu, 29 Desember 2012

Sektor Pertambangan Indonesia Kejahatan Terhadap Keselamatan Rakyat.

Catatan Akhir Tahun 2012, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
Diakui atau tidak, sektor pertambangan Indonesia merupakan sektor yang paling mengancam terhadap keselamatan rakyat. Sepanjang tahun 2012 tercatat 14 kasus yang melibatkan aparat Kepolisian, mengakibatkan lima orang tewas 45 luka-luka dan sedikitnya 64 orang yang dikriminalisasi,
serta tiga orang yang telah divonis bersalah 9 bulan hukuman penjara. Belum ribuan lainnya yang ruang hidupnya terancam atau kehilangan rasa aman. Pemerintah menggadang-gadang pertambangan sebagai pilar penopang pertumbuhan ekonomi. Segala fasilitas tertuju untuk memuluskan sektor ini berdeyut kencang.

"Bak gayung bersambut, Indonesia disebut-sebut akan mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 6,3% di tahun 2013. Laporan terbaru Bank Dunia menyebutkan hal itu bisa dicapai karena terdorong oleh investasi, konsumsi pemerintah dan publik. Senada dengan  data  Badan Koordinator Penanaman Modal Nasional (BKPMN) 2012, sektor pertambangan masih menjadi tujuan utama penanaman modal asing langsung. Menurut ekonom Bank Dunia, Indonesia harus menjaga dan meningkatkan aliran masuk investasi asing karena investasi dan konsumsi publik menjadi motor pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013. Sektor pertambangan Indonesia di tahun 2013 dipastikan akan meningkatnya laju komodifikasi hutan menjadi konsesi tambang dengan luasan gigantik dan melibatkan modal asing.

Komodifikasi dan Privatisasi Ruang Publik.

Perkembangan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan sepanjang delapan tahun terakhir menunjukan peningkatan signifikan. Di tahun 2004 hanya terdapat 13 unit usaha pertambangan yang mengalihfungsikan hutan lindung seluas 925.000 hektar. Angka itu meningkat tajam pada tahun 2012 menjadi 924 unit usaha dengan luas total 6.578.421 hektar. Menurut data Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga November 2012 tercatat ada 10.677 izin usaha pertambangan (IUP) telah selesai didata ulang (rekonsiliasi) dan diserahkan pula sertifikat Clean and Clear (CnC).

"Hal ini dimungkinkan secara legal dan didukung penuh oleh kebijakan pemerintah sejak tahun 2004. Hutan lindung yang secara legal merupakan penyangga ruang hidup warga dengan fungsi lindungnya merupakan barang publik (public goods) dimodifikasi menjadi barang untuk kepentingan private atau kepentingan segelintir pihak (private goods). Legalitas negara dalam menjamin berlangsung komodifikasi hutan paling nyata dengan keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 tahun 2008. Dengan sewa hanya Rp.300 per meter persegi, luasan tertentu kawasan dapat diprivatisasi oleh kelompok pemodal/korporasi.

"Ironisnya, privatisasi dalam bentuk sewa tersebut, masih mungkin diselewengkan. Pada tahun perhitungan 2011 saja, ada 1099 unit izin pinjam pakai kawasan hutan dengan total luas 2.264.877,41 hektar[1]. Jika menggunakan nilai tertinggi PP 02/2008, yakni Rp.300, seharusnya pada tahun itu setoran PNBP-PKH tambang Rp.6,795 triliun atau Rp.3,397 triliun dengan menggunakan biaya sewa minimum. Berdasarkan data Kehutanan setoran PNBP per Oktober 2011 baru mencapai Rp.208,42 milyar atau tidak sampai 10% dari biaya sewa minimum.

"Komodifikasi hutan untuk konsesi tambang secara illegal juga seolah tidak mau kalah. Ambil contoh di Kalimantan Tengah saja, pada tahun 2011 dari 615 unit perusahaan yang memperoleh izin melakukan pertambangan dengan luas total 3,7 juta ha, namun hanya sembilan unit perusahaan saja, atau hanya 30.000 Ha yang telah memiliki izin penggunaan kawasan hutan sesuai dengan peraturan. Di Kalimantan Timur ditemukan perusahaan tambang ilegal berjumlah 181 unit dengan luas 695.709 ha dikawasan hutan.

Korupsi Sektor Pertambangan.

JATAM mengamati sepanjang tahun 2012 penegakan hukum di sektor pertambangan (baca: kejahatan terhadap kekayaan negara) berada pada titik yang memprihatinkan. Begitu mudah dijumpai diseluruh wilayah Indonesia operasi Illegal Mining[2]. Kejahatan terhadap kekayaan negara ini tidak lepas dari adanya tindakan korupsi. Nyata-nyata mengakibatkan hilangnya kekayaan negara, baik finansial maupun sosial dan lingkungan. Bukan hanya itu, hak masyarakat untuk mendapatkan manfaat dari sumber daya alam pun terampas, belum lagi harus menanggung akibat kerusakan lingkungan yang mengancam keselamatan jiwa.

"Tidak sedikit kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik belum mampu dituntaskan. Padahal, kerugian negara yang timbul akibat korupsi pada sektor pertambangan tidak sedikit, tidak berhenti dan terus berlanjut. Data Dirjen PHKA sejak tahun 2004 - 2012 terdapat 1.724 kasus pertambangan melakukan pembabatan kawasan hutan secara ilegal. Data JATAM sepanjang tahun 2012 setidaknya ada 8 kasus illegal mining terindikasi kasus korupsi tidak tersentuh oleh penegak hukum. Dari 8 kasus tersebut, sebagian besar melibatkan perusahaan tambang bersertifikat CnC.

"Kasus Pembalakan Cagar Alam Morowali di Sulawesi Tengah dan Taman Nasional Tana Daru di Sumba mencuat akhir tahun 2012, menambah daftar panjang kejahatan terhadap kekayaan negara. Hingga penghujung tahun 2012 belum banyak kasus kejahatan sektor pertambangan yang berhasil sampai ke ranah penegakan hukum. Hanya ada satu kasus dimana kejaksaan menetapkan tersangka Bupati dan Kepala Dinas Kabupaten Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur atas dugaan korupsi dalam penerbitan izin pertambangan.
Finansialisasi.
Sindikasi keuangan internasional cukup jeli melihat peluang besar pada sektor pertambangan Indonesia. Finansialisasi, masuk melalui penawaran saham perdana atau Initial Public Offering (IPO) juga komitmen pendanaan yang melibatkan sejumlah bank komersial internasional. Sektor pertambangan masih menjadi favorit investor asing. Maka, wajar saja saat penawaran umum saham perdana berlangsung, asing rela membeli dalam jumlah besar. Sebagai contoh lain misalnya Merukh Enterprises memperoleh komitmen pendanaan minimum sebesar USD14 miliar atau sekira Rp120 triliun melalui sindikasi perbankan dan lembaga keuangan internasional.

"Dana tersebut akan dialokasikan untuk pengembangan proyek pertambangan Merukh Enterprises di Indonesia, terutama tambang tembaga di Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan tambang emas di Pohwatu, Provinsi Gorontalo. Masih banyak lagi bukti keterlibatan sindikasi keuangan dan lembaga keuangan internasional dalam mendanai proyek industri pertambangan di Indonesia. Sekalipun itu kotor seperti keterlibatan MIGA dalam memberi jaminan dan  pendanaan proyek kotor dan merusak lingkungan, seperti yang akan  dilakukan PT Weda Bay Nikel. Tak mau ketinggalan sindikasi keuangan yang dibentuk dalam kerangka bantuan program bilateral. Seperti yang disodorkan oleh Millennium Challenge Corporation (MCC) – sebuah lembaga yang dibentuk oleh kalangan Senator USA – sebesar $US 330 juta untuk program Green Prosperity Compact di Jambi dan Sulawesi Barat, diantaranya untuk proyek energi.

"Di Jambi sendiri, dari 4 taman nasional dan 11 hutan lindung, terancam oleh 300-an izin tambang. Proyek-proyek tambang di Jambi juga tak lepas dari pembiayaan oleh lembaga keuangan. Misalnya saja Northbridge Capital yang berbasis di India, PT. Eksanusa perusahaan tambang batubara yang memiliki IUP seluas 2.000 hektar di sekitar Taman Nasioal Bukit Dua Belas yang didukung olehnya. Selain di Jambi, Northbridge Capital juga mengakuisisi beberapa perusahan di Bengkulu, Riau dan Kalimantan.       
 Kuatnya rejim karbon dapat dilihat pada impunitas Bakrie Group dalam kecerobohan industri yang telah menyebabkan penghancuran dan penyingkiran ruang hidup warga di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang penanganannya sejak 2006 sangat menghina harkat kita sebagai warga negara.

"Sepanjang tahun 2012 sektor pertambangan melahirkan konflik dan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pengkaplingan lahan untuk konsesi pertambangan sebagai bentuk penghilangan hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik masyarakat. Penanganan yang setengah hati dan jauh dari akar persoalan, ibarat menumpuk bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu. Sepanjang bulan Mei sampai Desember tahun 2012 ada 13 kasus konflik yang diindiikasikan ada pelanggaran HAM. Data lain menunjukan ada 900 titik yang beresiko tinggi rawan konflik. Ekspansi sektor pertambangan terus melaju, merampas sumber-sumber kehidupan rakyat. Pada akhirnya makin menunjukan rupa asli bahwa sektor pertambangan Indonesia adalah praktik Kejahatan Terhadap Keselamatan Rakyat.


[1] Per juni 2012 telah mencapai 2.519.415,82 hektar.
[2] Illegal Mining, Operasi pertambangan yang dengan sengaja melanggar peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku demi mendapatkan keuntungan besar baik dilakukan oleh perusahan berijin ataupun tidak berijin adalah praktek illegal mining. Illegal Mining tidak dapat dipisahkan dari adanya tindak korupsi.


  "Sumber: http://indo.jatam.org/saung-pers 28 December 2012.
(Bihis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar