Kamis, 01 November 2012

Tinjau Tambang Pasir Laut.

1/11/2012.
   Kerugian Masyarakat Pesisir Maduran Makin Parah.
SURABAYA, KOMPAS – DPRD Jawa Timur mendesak pemerintah Provinsi Jatim meninjau ulang analisis mengenai dampak lingkungan pengerukan pasir laut di Selat Madura. Aspek lingkungan dan kepentingan mesyarakat harus menjadi prioritas utama.

’’Jangan sampai eksploitasi itu mengganggu sumber pendapatan masyarakat dan merusak lingkungan,’’ kata anggota Komisi B di Surabaya, Selasa(30/10/2012). Pengerukan pasir laut PT Gora Gahana itu mencapai 540 hektar dan berada 1,9 mil (3 kilometer) dari pesisir Surabaya. Pasir yang dikeruk untuk mereklamasi Teluk Lamong yang akan dijadikan pelabuhan. Menurut Freddy, abrasi akibat pengerukan pasir yang terjadi di pesisir Surabaya menunjukan dampak negatif. Jika pengerukan itu terbukti merusak lingkungan Pesisir dan mengancam pendapatan nelayan, izin penambangan sebaiknya dicabut.

  PT Gora Gahana mengantongi izin penambangan pasir laut dari Pemprov Jatim di Selat Madura pada tahun 2006, tetapi aktivitasnya sempat terhenti sebab ditolak warga. Kini, penambangan dilanjutkan kembali. Pengerukan pasir juga dinilai menyalahi ketentuan rencana tata ruang dan wilayah Jatim yang menyebutkan kawasan di Selat Madura sebagai kawasan wisata bahari, budidaya, dan perikanan tangkap tradisional. Waktu Ketua Kadin Jatim Bidang Pelayanan Nasional Lukman Ladjoni menyarankan pengerukan pasir di utara Pulau Madura yang dampaknya tak terlalu terasa bagi masyarakat pesisir.

  Senin (29/10/2012), masyarakat pesisir Surabaya di Kelurahan Kedung Cowek mendatangi kantor kelurahan, menolak proyek pengerukan pasir laut di Selat Madura. Mereka menilai pengerukan itu memicu abrasi dan merusak lingkungan pesisir berdampak terhadap berkurangnya pendapatan nelayan.

Lapor Panglima TNI.

  Warga yang sebagian besar nelayan itu tergabung dalam Forum Masyarakat Pesisir Suramadu(FMPS). Munir, juru bicara FMPS, menilai, pengerukan pasir sejak 1985 itu secara bertahap merugikan ekonomi dan ekologi. Hasyim, ketua RW 3, Kelurahan Kedung Cowek, mengakui, abrasi di wilayahnya terjadi sejak ada pengerukan pasir laut tahun 1985. Jarak antara bibir pantai dan tempat tinggal warga terus berkurang. ’’Dulu, jarak bibir pantai dengan rumah sekitar 50 meter. Sekarang, rumah langsung di tepi laut, ’’ kataHasyim.

  Romli, nelayan di Kedung  Cowek, mengakui, pendapatannya terus berkurang. ’’Sebelum ada pengerukan, hasil tangkapan bisa 1 kuintal sekali melaut. Ada udang, ebi (udang kecil), ikan dorang, ikan kakap, dan cumi-cimi. Sekarang paling 15-20 kilogram dapatnya sekali melaut. Itu pun jenisnya hanya ikan bulu ayam dan teri, ’’ucap Romli. Selain itu, air laut pun keruh, kedalama di sekitar pantai bertambah dari 3-4 meter menjadi sekitar 15 meter.

  Para nelayan tradisional, perempuan nelayan, dan masyarakat pesisir sekitar Selat Madura yang tergabung dalam FMPS itu juga mangadukan penambangan pasir kepada panglima TNI Laksamana Agus Suhartono. Meraka menilai aktivitas didalangi oknum TNI. Dalam beberapa kali sosialisasi dari perusahaan  selalu didampingi aparat TNI AL. Hasyim juga meminta panglima TNI tidak membiarkan prilaku jajarannya yang tidak mengayomi masyarakat di sekitar Madura. TNI jangan terlibat dalam praktik perusakan lingkungan laut yang berujung pada pemiskinan nelayan tradisional Selat Madura. (ILO/ICH).




’’Sumber: Koran Cetak Kompas Jakarta 31/10/2012, Halaman 21, Nusantara.



(Bihis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar