Jumat, 30 November 2012

Tinggalkan Solusi Palsu Perubahan Iklim, Wujudkan Keadilan Iklim.

30/11/2012.

Umat manusia akan berada di jalur bencana karena kenaikan suhu rata-rata  4°C , jauh di atas  ambang batas 2 °C, yang diperbincangkan selama ini. (Bank Dunia, 2012). Pada kenaikan 0,8 derajat C saja hari ini saja (di atas tingkat pra-industri) sudah menghasilkan berbagai malapetaka, seperti banjir, badai dan kekeringan.
Saat ini berlangsung COP 18 di Doha, 26 November – 7 Desember 2012 yang membicarakan bagaimana dunia menghadapi hal itu.
Negara-negara industri membuat  KTT Perubahan iklim dalam 5 tahun terakhir  gagal memutuskan berapa mandat penurunan emisi mereka, hingga Protokol Kyoto (KP) berakhir 31 Desember 2012. Padahal KP satu-satunya yang memiliki kekuatan hukum mengikat 187 negara yang menandatangani pengurangan emisi Gas Rumah Kaca. Meski hasil COP 17 di Durban Afrika Selatan menyepakati  melanjutkan  KP untuk periode 2013-2017 atau 2013-2020 - bergantung hasil COP18 Doha, termasuk dengan cara seperti apa penurunan emisi dilakukan sepanjang komitmen tersebut.

Padahal kondisi makin memburuk, laporan UNEP (2012) tentang kesenjangan emisi global tahunan, menunjukkan lonjakan emisi GRK dari 40 miliar ton pada  2000 menjadi 50 miliar ton saat ini, serta diproyeksikan jadi  58 miliar ton pada 2020, jika tak ada tindakan.

Celakanya tak ada yang berkomitmen menurunkan penggunaan energi fosilnya secara drastis.  Tindakan-tindakan yang dilakukan saat ini justru solusi- palsu perubahan iklim. Salah satunya yang mendapat perlawanan meluas dari masyarakat Amerika Utara adalah  penggalian bahan bakar tarsand, yang emisnya mencapai 3 kali emisi minyak bumi biasa. Juga  proyek-proyek Carbon Capture Storage (CCS) yang justru disepakati menjadi bagian skema CDM pada COP 17 Durban. Belakangan, pencarian bahan bakar melalui fracking gas juga menuai penoalakan yang meluas.

Di Indonesia sendiri, meski Presiden SBY berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dari tingkat business as usual pada 2020, menjadi 41 persen dengan bantuan internasional. Namun di lapang pembongkaran batubara dari perut bumi terus dipercepat. Tahun depan diramalkan mencapai 366,04 juta ton, naik 10,25 persen,  di atas rata-rata pertumbuhan produksi batu bara dunia, dan sebagian besar pasti untuk ekspor. Belum lagi alih fungsi lahan untuk kebun sakal besar sawit, pertambangan mineral, reklamasi pesisir.

Salah satu solusi palsu perubahan iklim ditunjukkan Australia, melalui demplot proyek REDD Kalimantán Forest and Climate Partnership (KFCP) kerjasama dengan Australia. Namun saat yang sama, perusahaan-perusahaan asal Australia seperti Freeport/ Rio Tinto terus merusak lingkungan dan memiskinkan  rakyat Papua. Perusahaan lainnya, BHP Billiton juga akan membongkar batubara di kawasan lindung Kalimantan Tengah, tambang emas Hillgrove akan membongkar kawasan Taman nasional Wanggameti dan Tanadaru di Sumba, sementara tambang emas lainnya di Batang Toru Sumatera Utara, mulai membuang limbah tailingnya ke sungai, setelah aparat keamanan menembaki warga yang protes menolaknya.

Peran Australia membiayai Coral Triangle Initiative dan KFCP untuk konservasi dan perubahan iklim, serta investasi pertambangan di Kepulauan Indonesia menandakan Australia dan Negara industri lainnya menjalankan standar ganda dalam perundingan iklim. Indonesia harus keluar dari skenario diplomasi iklim Australia yang menyandera keselamatan rakyat Indonesia dari dampak buruk perubahan iklim. Keterlibatan Australia dalam perusakan lingkungan dan perampasan tanah air, sejatinya memperparah dampak buruk perubahan iklim.

Saat ini, perampasan lahan oleh perusahaan yang didukung negara, termasuk aparat militeryang berujung konflik makin meluas. Selama 2011, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat konflik hahan terjadi seluas 472.084,44 hektar, disebabkan alih fungsi lahan untuk : perkebunan (97 kasus), kehutanan (36 kasus), Infrastuktur (21 kasus), pertambangan (8 kasus), dan pertambakan (1 kasus).

Belum lagi bicara Master Plan Percepatan Perekonomian Indonesia (MP3EI, 2011-2025) lewat Peraturan Presiden No.32 tahun 2011, yang membagi Negara kepulauan menjadi 6 koridor ekonomi. Sebenrnya lebih tepat menyebutnya enam lorong derita, karena menitik beratkan pada eksploitasi sumber daya alam (SDA), pintu masuk eksploitasi cepat dan jual murah SDA tersisa.

Sementara dampak perubahan iklim main tak terelakkan menimpa laki-laki dan perempuan baik itu nelayan, petani dan miskin kota di Indonesia. Sementara Presiden SBY dan kabinetnya lebih sibuk berupaya menurunkan emisi GRK, melupakan rakyatnya yang harus berjuang sendirian Bagi perempuan, walaupun permasalahan yang dihadapi sama antara perempuan dan laki-laki, namun dampak yang dirasakan berbeda akibat peran gendernya. Hilangnya akses dan kontrol perempuan atas tanah, air dan sumber daya alam lainnya, adalah pelanggaran hak perempuan dan menguatkan diskriminasi, sub-ordinasi, marginalisasi, yang mengakibatkan kehidupan perempuan menjadi semakin miskin dan beban perempuan dalam memastikan keberlangsungan hidup dirinya dan keluarganya menjadi semakin berat.

Di ranah negosiasi internasional,  sangat disayangkan pemerintah Indonesia lebih peduli mencari peluang pendanaan perubahan ikllim dari hibah dan utang, tanpa disertai pertimbangan yang kuat untuk melindungi kepentingan rakyat dan kepentingan nasional. Ini pula yang menyebabkan pemerintah SBY gagal menjadi wakil dari suara kepentingan negara-negara dunia ketiga dalam perundingan iklim di tingkat internasional.

Para pemimpin Negara-negara industri yang hadir di COP 18 Doha harus segera menyepakati langkah nyata penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) khususnya dari konsumsi energi fosil secara drastis, dan menjauhi solusi palsu dampak perubahan iklim. (selesai)

Kontak Media:
Andre S Wijaya, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), hp 08129459623
Yuyun Hermono, Koalisi Anti Utang (KAU), email  harmono@gmail.com
Aliza,  Solidaritas Perempuan (Soliper), hp  081294189573
Mida Saragih, Kolaisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), hp 081322306673
Siti Maemunah, Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF-CJ), hp 0811920462
Zenzi Suhadi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), hp 081384502601.

''Sumber: Siaran Pers Bersama Koalisi Keadilan Iklim, 29 November 2012.


(Bihis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar