Minggu, 10 Juni 2012

Akankah Hak Veto (Kedaulatan) Rakyat atas Ruang Hidup Ditegakkan oleh Mahkamah Konstitusi?

10-06-2012.
Siaran Pers WALHI, PBHI, Kiara, Solidaritas Perempuan, KPA, JATAM (Jelang Putusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materi UU Pertambangan Mineral dan Batubara)

Jakarta (31 Mei 2012) Setelah menunggu lebih dari setahun, akhirnya Mahkamah Konstitusi memanggil pemohon Uji Materi UU Pertambangan Mineral dan Batubara untuk pembacaan keputusan. Pembacaan keputusan dijawalkan pada 4 Juni 2012. Permohonan uji materi Undang-undang ini dimohonkan oleh WALHI, PBHI, Kiara, Solidaritas Perempuan, KPA, dan masyarakat yang ruang hidupnya terancam oleh pertambangan, yakni Kulonprogro, Likupang-Sulawesi Utara, Seluma- Bengkulu.
Uji materi ini adalah perjuangan untuk wujudkan adanya pengakuan hak veto (kedaulatan atas ruang hidup) rakyat dari rencana penetapan wilayah pertambangan) dan menghilangkan kriminalisasi terhadap mereka yang perjuangkan hak dan lingkungan berhadapan dengan perusahaan tambang.


Pemohon menilai, UU Pertambangan Mineral dan Batubara mengakui hak rakyat atas ruang hidupnya secara semu. Hak hidup ruang rakyat belum diakui secara tegas sehingga membukakan kekuasaan para pemerintah menetapkan wilayah pertambangan secara sepihak. Pasal 9, 10 dalam prosedur penetapan wilayah pertambangan menyatakan proses penetapan wilayah pertambangan dilaksanakan secara partisipatif dan memperhatikan aspirasi daerah. Karena semu ini, maka ketentuan pelaksaanaan partisipatif dan memperhatikan aspirasi warga menjadi hilang sama sekali dalam aturan pelaksanaan, yakni dalam Peraturan Pemerintah No 22 tentang Wilayah Pertambangan.WALHI, PBHI, Kiara, Solidaritas Perempuan, KPA, dan masyarakat yang ruang hidupnya terancam oleh pertambangan memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar partisipasi dan memperhatikan aspirasi warga dimaknai bahwa dalam proses penetapan wilayah pertambangan harus ada persetujuan atau ketidakpersetujuan tertulis dari rakyat yang terdampak negatif.

Seluruh wilayah pertambangan Indonesia saat ini sarat konflik dengan masyarakat sekitar. Empat orang warga Desa Gendoang, Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor, sedang diproses di Kejaksaan di Jawa Barat terkait dengan pelolakan tambang galian di dekat perumahan mereka yang telah ciptakan lobang-lobang besar dan berbahaya bagi anak-anak dan pemukiman perumahan yang longsor. Tidak adilnya, mereka sedang dikriminalisasi dengan dalih mengganggu ketertiban umum. Tukijo, warga Kulonprogo mempertahankan lahan pertanian dari rencana penambangan pasir besi. Tidak adilnya, dia kini sedang dipenjara karena perjuangannya. Pada 3 Mei tahun 2012, tiga petani Pulau Sumba, yakni Umbu Mehang, Umbu Janji dan Umbu Pindingara dihukum sembilan bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Waikabubak-NTT karena perjuangan mereka menolak tambang emas PT.Fathi Resources dikawasan hutan yang penting bagi kehidup mereka sebagai sumber air dan kesuburan bagi pertanian.

Masyarakat sekitar Teluk Tomori-Teluk Tolo, Morowali menyaksikan geram laut biru mereka berubah jadi merah karena Bupati keluarkan puluhan ijin pertambangan nikel di kawasan hutan sekitarnya. Dampaknya, 200 orang warga kota kecil Kolonodale terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu rumah tangga diserang penyakit gatal-gatal dan bercak benjol di kulit.Masyarakat Kota Gorontalo dan sekitarnya kian cemas karena wilayah taman Nasional Nani Wartabone dialihkan menjadi kawasan pertambangan. Bajir sepinggang orang dewasa kala musim hujan kian mengancam.Kehadiran pertambangan Weda, Halmahera Tengah menutup akses petani akan hasil hutan seperti pala, sagu. Ruang hidup mereka terancam tebaran debu nikel yang karsinogen dan rusaknya hutan sebagai sumber air dan bahan pangan.

Sumber: http://indo.jatam.org/saung-pers/siaran-pers/ 04 June 2012.

(Bihis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar