Sabtu, 07 April 2012

Hitung Mundur Menuju Kebangkrutan Energi Indonesia.

indo.jatam.org 04 April 2012.

Oleh; Merah Johansyah Ismail
[JATAM Kaltim]


Gurita Demokrat di Politik Pengurusan Migas

Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Presiden No 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Februari 2012 lalu.

Peraturan itu mencabut Perpres No 6 Tahun 2009 sebagai revisi Perpres No 55 Tahun 2005 tentang
Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri yang mengatur hal serupa.


Perpres itu mengamanatkan Menteri ESDM menetapkan pembatasan atau penyesuaian harga. Atas dasar itu pula pemerintah berupaya mengupayakan penyesuaian dalam APBN Perubahan 2012, pemerintah beralasan agar dompet anggaran negara tak jebol.

Jika dihitung, maka sudah 3 kali, pemerintah dibawah rezim susilo bambang yudhoyono ini menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Hal ini menggenapi kesimpulan bahwa kebijakan energi semasa rezim sby berkuasa bahkan hingga kini, setengah periode jilid kedua kabinet indonesia bersatu berjalan, tidak lebih dari berkutat pada kebijakan bongkar pasang subsidi saja, pangkal masalahnya yakni tata kelola energi nasional cenderung diatasi menggunakan jurus konservatif-pro pasar, jual murah dan kuras kekayaan migas-batubara sehabis habisnya.

Jika mengalami kebuntuan, langkah beberapa bulan[1] yang lalu, reshuffle kabinet di setengah periode kedua kabinet indonesia bersatu dijalankan. Saat itu kebijakan reshuffle kabinet bekerja bak “pil penenang” baik bagi gejolak politik yang tengah terjadi level elit partai koalisi maupun oposisi sekaligus.

Nampak mudah di mata sby, jika persoalan energi dan sumberdaya mineral tak urung bisa mendapat prestasi maka cukup ganti menterinya.

Drama pun dihelat, sejumlah menteri diganti, sisanya hanya dirotasi ke kementerian lain. Begitu juga Dr. Darwin Zahedi Saleh, menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM) diberhentikan dan digantikan oleh Ir. Jero Wacik.

Nampak dari drama politik tersebut, bahwa partai demokrat urung melepaskan dominasi mereka dari sektor energi dan pertambangan yang telah berlangsung selama ini.

Kita mafhum bersama bahwa Ir Jero wacik adalah representasi fungsionaris partai demokrat, ia pernah menjabat sebagai wakil sekjend partai dan sekarang tercatat sebagai dewan pembina partai, begitu juga dengan Dr Darwin zahedi Saleh, sosok yang digantikannya juga berasal dari partai yang sama.

Menjadi genap, karena komisi III DPR-RI, yang membidangi energi dan pertambangan saat ini juga dipimpin oleh Teuku Riefky Harsya juga kader Partai Demokrat yang berada di departemen energi dan sumberdaya mineral di DPP Partai Demokrat[2].

Gurita partai demokrat dalam bisnis politik energi dan pertambangan nampaknya akan terus di “lanjutkan” sesuai slogan partai yang memenangi pemilu 2009 ini.

Kepungan asumsi bahwa Partai demokrat memiliki hubungan gelap dengan para pebisnis energi dan investor tambang menjadi tak terelakkan, bukankah susilo bambang yudhoyono adalah mantan menteri ESDM zaman gus dur dan budiono adalah ekonom yang disebut-sebut bagian dari mafia barkeley saat ribut-ribut soal century lampau

Kalau saja antara SBY, Teuku Riefky. dan Jero Wacik saling mengedipkan mata, kuburan untuk negara itu sedang digali. Bukan tidak mungkin, porsi 31% dari setoran penerimaan negara dari sektor ESDM, dengan berbagai lipstik alasan, akan terus melorot dan mengerucut pada satu piramida kepentingan.

Kini drama “gurita” partai demokrat dalam bisnis politik pengurusan energi dan tambang sedang menuju episode baru, peran yang dimainkan oleh menteri ESDM yang baru, Jero Wacik, sudah mulai terlihat, terutama dalam lakon penaikan harga BBM.

Bahkan fraksi partai demokrat di dewan perwakilan rakyat 'mengklaim' rencana pemerintah untuk menaikkan bahan bakar minyak bersubsidi merupakan permintaan mayoritas masyarakat agar subsidi tidak membebani negara ujar jafar hafsah ketua fraksi demokrat di kompleks DPR, Jakarta, Rabu, [29/2/2012]

Berpangkal dari Kegagalan Politik Energi

Pemerintah selalu beralasan bahwa faktor utama kenaikan harga bbm musababnya adalah kenaikan harga minyak di pasar dunia, Kondisi geopolitik ini sesungguhnya digenapkan dengan salah pengurusan energi domestik.

Yang terakhir memang jarang disinggung, pemerintah lebih suka mencari alasan diluar dirinya. ujungnya hak rakyat atas energi, birokrasi jasa energi yang bersih dan mengurangi kecanduan pada industri energi berbasis SDA tak terbarukan seperti Migas dan Batubara justru tak terpikirkan.

Kebijakan ini menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan harga bbm adalah kebijakan reaksioner, bukankah jika musababnya adalah kenaikan harga minyak dunia, maka kenaikan harga bbm bukan satu kali ini saja. Apakah pemerintah akan sibuk bereaksi lagi soal kenaikan harga, subsidi bbm dan blt saban ada gejolak harga minyak dunia

Pemerintah mestinya jujur mengakui bahwa pangkal masalahnya adalah politik pengurusan energi indonesia yang salah dan kecanduan akut pada energi fosil yang tak terbarukan akibat Pengkhianatan telanjang dari mandat konstitusi UUD 1945, Pasal 33 ayat 2, bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak mesti dibawah kendali negara dengan perlakuan khusus dan  demi sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat.

Tengok saja MK membatalkan 3 pasal sekaligus dari UU No 22 / 2001 Tentang Migas yaitu Pasal 12  Ayat (3), Pasal 22 Ayat (1), dan Pasal 28 Ayat (2), diantara pasal yang dibatalkan tersebut adalah pasal tentang penyerahan harga BBM dan Gas Bumi pada Pasar yang jelas melanggar Konstitusi UUD 1945, Pasal 33 ayat 2 dan 3.

Pemerintah memperlakukan cabang produksi penting, migas dan batubara persis sama dengan memperlakukan dan memperdagangkan komoditas lain, padahal kita semua tahu bahwa migas dan batubara adalah komoditas strategis dan merupakan sumberdaya tak terbarukan, ekstraksi sumberdaya yang juga biasa disebut sumberdaya fosil ini juga tidak murah, ongkos ekosob dan lingkungannya juga kolosal.

Ongkos yang dibayar oleh Warga Di kawasan Ekstraksi

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sumbangan sektor pertambangan umum tidak lebih dari 4% tiap tahunnya, yang diperoleh dari royalti dan pajak[3]. Sektor minyak dan gas memang kelihatan sebagai sektor yang gemuk, dengan capaian antara 25% - 30%. Namun angka itu akan menyusut drastik apabila dikurangi kewajiban pemerintah membayarkan cost of recovery[4]

Porsi laba terbesar justru dinikmati oleh negara asal perusahaan. Angka itu semakin menyusut apabila terjadi bencana akibat kecelakaan industri, sebagai ongkos ekosob dan lingkungan  yang mengancam keselamatan warga sekitar, dimana sumber pembiayaannya akan diambil dari APBN, seperti terjadi pada kasus lumpur Lapindo di Jawa Timur[5].

Terdapat 11 desa di 3 kecamatan di Sidoarjo tenggelam karena lumpur lapindo, seluruh rumah, pekarangan, sanak famili bahkan jaringan sosial ludes porak poranda, anak-anak terganggu proses belajarnya, kehilangan bersosialisasi dan bertumbuh secara wajar, sementara para suami menganggur karena kehilangan pekerjaan, perjuangan 2.381 KK atau 9.160 Jiwa tersebut untuk mendapatkan haknya yang telah dirampas diubah hanya sebatas hak ganti rugi dan itupun harus dengan menyerahkan sertifikat tanahnya ke lapindo[6], jenis matematika apa yang bisa dipakai untuk menghitung kerugian seseram itu.

Industri Tambang lekat dengan daya rusak, begitu pula industri Migas, dengan daya rusak dan ongkos ekosob dan lingkungan sedemikian tinggi, mustahil memperlakukan cabang industri ini seperti memperlakukan cabang industri biasa.

Di Kalimantan Timur, 4 dari 7 ladang raksasa milik TOTAL Indonesie[7], perusahaan migas asal perancis, berada tepat diatas hamparan mangrove di delta mahakam, kini 80 persen dari ekosistem mangrove dan ruang penghidupan warga pesisir terganggu oleh operasi perusahaan energi pemegang 10 persen operasi migas di indonesia ini. Dan kini Kaltim adalah kawasan yang brutal mengobral ijin semua jenis pertambangan, kini ada 73 Kontrak Kerjasama Migas dan 1400 Ijin Usaha Pertambangan Batubara[8].

Ongkos yang harus dibayar oleh warga di kawasan ekstraksi begitu mahal, di kaltim hanya dalam 7 bulan terdapat 7 anak usia 6 – 14 tahun meninggal dunia karena jatuh di lubang tambang, WHO bahkan menyebut angka 3000 hingga 5000 orang petambang batubara meninggal setiap tahun akibat kecelakaan tambang, ada lebih dari 2 juta orang meninggal karena polusi akibat pembakaran bahan bakar fosil berupa Migas dan Batubara[9]

Jual Murah, Keruk Habis dan Diperdayai Asing

Paradigma jual murah keruk habis, langgeng di kepala para pengambil kebijakan di negeri ini. Asyik masyuk dengan pemasukan yang mengucur deras Sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 2001, secara keseluruhan pendapatan yang didapatkan dari migas adalah sebesar $ 364 milyar, yang setelah dikurangi untuk cost recovery dan bagian kontraktornya, Indonesia masih mendapatkan bagian untung sebesar $ 241 milyar atau sekitar 66 %-nya[10]

Sayangnya, keuntungan ini raib entah kemana, sebagian besar dirampok oleh para spekulan dan mafia migas, keasyikan dengan kondisi ini, transfer teknologi dan sumberdaya manusia berjalan lamban, 85,4 persen dari 137 peserta KPS/KKS adalah perusahaan asing, sementara sisanya adalah perusahaan nasional. Hanya ada 20 perusahaan nasional yang mengelola lapangan minyak dan gas di Indonesia, itupun hanya 10 perusahaan yang sudah berproduksi.

Produksi minyak bumi indonesia kini 289.445 MBPOD, sementara 100.744 MBPOD nya di ekspor, karena Produksi minyak mentah Indonesia terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik, namun sebagian diekspor karena spesifikasinya tidak sesuai dengan kebutuhan kilang dalam negeri[11].

Oleh karena itu untuk memenuhi kekurangan pasokan dalam negeri dilakukan impor minyak yang sesuai spesifikasi kilang minyak di Indonesia. Kilang minyak Indonesia dibangun pada saat produksi minyak Indonesia masih sekitar 1,5 juta BOPD atau di atas kapasitas kilang (1,057 juta BOPD) dan masih dapat memenuhi konsumsi dalam negeri. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa produksi minyak semakin menurun dan dibawah kapasitas kilang dalam negeri. Sementara konsumsi meningkat namun peningkatan kapasitas kilang sangat terbatas.

Jika tidak cepat berbenah maka, negeri ini justru sedang menghitung mundur menuju kebangkrutan sumberdaya alam dan energi, tidak lama lagi.

Sumber dan Referensi :
[1] http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/1386/Reshuffle.Kabinet
[2] http://www.demokrat.or.id/pengurus-dpp-partai-demokrat/
[3] Data Pokok APBN 2009 (http://tinyurl.com/2wzp7kb) menyebutkan total pendapatan pajak mencapai Rp.609,2 triliun, sektor pertambangan hanya menyetor Rp.15 triliun. Sedangkan dalam Pendapatan Negara non pajak mencapai Rp.285,7 triliun, iuran dan royalti pertambangan umum menyumbang sebesar Rp.6,86 triliun
[4] Aturan yang digunakan untuk menentukan item Cost of Recovery adalah Permen ESDM No. 22 tahun 2008. Aturan lainnya dibawah UU APBN tentang Cost of Recovery. Pada 2008, total biaya yang dibayarkan pemerintah dalam skema Cost of Recovery mencapai US$ 10,47 milyar (sekitar Rp.95 triliun) sedangkan pendapatan Negara dari pajak dan non pajak Migas hanya mencapai Rp.181,13 triliun.
[5] Untuk tahun 2010 -2011 saja sudah 4, 3 Trilyun uang negara dari APBN dikeluarkan silahkan cek di http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2010/05/31/106282/Kerugian-Luapan-Lumpur-Lapindo-Sangat-Besa
[6] Muhammad Nur Khoiron, Jurnal SRINTHIL, Perempuan diatas Lumpur, Desantara 2010, Hal 06
[7] Presentasi Operasi PT TOTAL Indonesie, di Forum NGO, Kutai Kartanegara, 2010
[8] Data JATAM Kaltim, Time Series 2011
[9] Dikutip dari pernyataan Patrick Moore, Mantan Direktur Greenpeace di Forum Energi Berkelanjutan untuk Pembangunan Nasional di Jakarta, dimuat dalam KOMPAS Edisi 9 Mei 2011
[10] Data dari S. Zuhdi Pane, The Indonesian Oil & Gas Industry, disampaikan dalam FGD JATAM, 2006
[11] Statistik Migas, Kementerian ESDM, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar