Minggu, 26 Februari 2012

Kekerasan di Bima Kebanyakan Korban Perempuan dan Anak.

Sinar Harapan, 25/02/2012.
  
(foto:dok/ist)
JAKARTA - Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan bukti bahwa korban peristiwa kekerasan di Pelabuhan Sape, Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), akhir 2011, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Dari 47 korban luka tembak, 29 di antaranya perempuan dan anak-anak.
"Enam dari 29 korban itu masih anak-anak," kata Arimbi Heroepoetri, Ketua Sub-Komisi Pemantauan, Komnas Perempuan, di Jakarta, Jumat (24/2).
Mereka sebagian besar mengalami luka tembak pada bagian kaki hingga badan, dan hingga saat ini masih harus mendapatkan perawatan medis yang serius.
Selain korban fisik, menurut Arimbi, juga terdapat korban psikis, yakni masyarakat yang mengalami trauma psikologis akibat peristiwa itu. Jumlah korban psikis diduga lebih besar ketimbang korban fisik, tetapi pihaknya belum bisa memberikan rinciannya lantaran masih diperlukan waktu untuk melakukan identifikasi lebih dalam. “Tapi yang pasti jumlahnya jauh lebih banyak,” ujarnya.
Karena itu, ia mendesak semua elemen terkait, pemerintah daerah dan pemerintah pusat, untuk tidak hanya memberikan upaya pemulihan kepada korban fisik, melainkan juga terhadap korban psikis. Apalagi, para korban psikis sama sekali tidak diperhatikan kebutuhannya.
Pada peristiwa itu, Komnas Perempuan menemukan banyak perempuan dan anak terlibat dalam aksi protes menentang diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Bupati No 188.45/357/004/2010 yang mengizinkan usaha eksplorasi pertambangan di wilayahnya. Karena itu, kemudian Komnas Perempuan melakukan pemantauan ke Mataram, Bima, dan Sape pada 26 Januari-2 Februari 2012.

Komnas Perempuan berpendapat bahwa pemulihan bukan sekadar memulihkan kondisi fisik yang mengalami luka tembak, tetapi harus juga melibatkan partisipasi masyarakat dan rekonsiliasi.
Ini karena sejak peristiwa pembakaran Kantor Camat Lambu, 10 Februari 2010, masyarakat apalagi korban tidak pernah didengar kebutuhannya, juga tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan yang dapat mencegah konflik berulang, apalagi meminta pandangan dan opini perempuan.
Pengabaian partisipasi masyarakat juga terlihat ketika Bupati Bima mengeluarkan SK No 188.45/743/004/2011 tentang penghentian sementara izin eksplorasi. Akibatnya, kembali masyarakat menolak dan memicu terjadinya peristiwa 24 Desember 2011 dan pembakaran Kantor Bupati Bima, 26 Januari 2012.
Komnas Perempuan menghargai upaya rekonsiliasi pascaperistiwa 24 Desember 2011 yang dilakukan kepolisian/pemerintah daerah dengan membuat selebaran dan membuat spanduk, dan melakukan upaya pengobatan. Namun seharusnya dibarengi dengan dialog  dengan masyarakat maupun korban sebelum proses hukum dilakukan.
“Hampir seluruh pemangku kepentingan yang kami temui belum menaruh perhatian atas isu kekerasan berbasis gender. Tidak melihat isu konflik sumber daya alam dengan kondisi dan dampaknya bagi perempuan,” lanjut Arimbi melalui surat elektronik kepada SH.

Selain itu, keterlibatan perempuan dalam aksi tidak dipandang sebagai partisipasi setara perempuan dalam perjuangan mempertahankan lahan pertanian sebagai sumber kehidupan mereka.
Karena itu Komnas Perempuan merekomendasikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak agar memastikan aparat negara memahami kekerasan terhadap perempuan berbasis gender. Perlu ada mekanisme pengaduan masyarakat yang dikelola secara independen dan mudah diakses masyarakat.
Pelanggaran HAM Berat
Terkait peristiwa penembakan yang diduga dilakukan aparat kepolisian dalam bentrokan antara polisi dan warga di Pelabuhan Sape, Bima, Sabtu, 24 Desember 2011, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai telah terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan kepolisian. Kapolda Nusa Tenggara Barat Brigjen Arif Wachyunadi harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
"Kasus tersebut sudah memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM berat, sebab terjadinya kerusuhan di Pelabuhan Sape itu sangat sistematis dan meluas," kata Koordinator Kontras Haris Azhar, saat ditemui di Kantor Komnas Perempuan, Jumat.
Menurutnya, situasi sistematis dapat dilihat dari adanya pengerahan pasukan kepolisian yang sangat besar, diperkirakan lebih dari 500 personel, guna menghalau massa di Pelabuhan Sape. Selain itu, Kapolda NTB terlibat aktif dalam bernegosiasi selama masa pendudukan pelabuhan oleh massa.
Dalam peristiwa itu, Wakapolda juga terlihat berkeliaran di luar Pelabuhan Sape tanpa menggunakan pakain dinas, sebelum dan saat peristiwa terjadi. Kapolresta juga memimpin setiap langkah pasukan saat memasuki dan berada di dalam pelabuhan.

"Setelah itu di dalam pelabuhan terjadi penembakan yang dilakukan dari jarak dekat sekitar 10-15 meter. Dengan kondisi tersebut, kalau ada pihak yang mengatakan bahwa kasus di Bima tidak sistematis, tentu kami akan sangat bingung dan aneh," ucapnya.
Haris mengungkapkan, temuan Kontras di lapangan memperlihatkan ada 83 warga yang terluka akibat bentrokan itu. Sebagian besar para korban itu mengalami luka tembak, dan hingga kini mereka belum mendapatkan pelayanan medis yang layak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar