Minggu, 26 Februari 2012

Investasi yang Memiskinkan.

Sinar Harapan, 10/01/2012.

(foto:dok/ist)
(AWS/CPP), 28 Desember 2011

Teramat istimewa berinvestasi di Indonesia. Selain mendapat bahan baku sumber daya alam dan tenaga kerja murah, belakangan juga diberikan fasilitas pengamanan untuk menyingkirkan dan memiskinkan rakyat.

Ketimpangan tersebut selanjutnya melatari aksi pendudukan dan blokade massa di Mesuji Lampung dan Bima Nusa Tenggara pada penghujung 2011.
Tidak terkecuali bagi petambak plasma udang Bumi Dipasena, di Rawajitu, Lampung, yang mengambil alih kawasan milik perusahaan inti, PT Aruna Wijaya Sakti 
Sebelum melepas aset Dipasena pada pertengahan 2007, pemerintah mensyaratkan dua hal: PT AWS—anak perusahaan pakan dan ternak asal Thailand, Charoen Pokphand—berkewajiban membayar saham dan hak tagih kepada negara sebesar Rp 668 miliar.
Selain itu juga merampungkan program revitalisasi, yakni perbaikan sarana tambak udang di 16 blok dalam waktu 18 bulan. Hingga 2010, baru lima dari 16 blok yang direvitalisasi (Kompas, 11/5).

Alih-alih mendapatkan sanksi, pemerintah justru membiarkan PT AWS menambah daftar panjang kecurangannya, mulai dari mengambil, mengelola, dan memanfaatkan dana pinjaman Perbankan milik 3.982 petambak—dengan jumlah berkisar antara Rp 86-144 juta per orang; menetapkan beban biaya produksi dengan tidak transparan; memanipulasi penetapan harga hasil panen; hingga menunda pembayaran selisih hasil usaha petambak (SHU) yang nilai totalnya dapat mencapai Rp 37 miliar.
Tak berhenti disana, per 7 Mei 2011, perusahaan juga menghentikan secara sepihak seluruh aliran listrik ke tambak dan permukiman penduduk. Bahkan, pada medio 2011, Direktur Utama PT PLN Dahlan Iskan mengakui timnya dilarang memasuki kawasan tambak eks Dipasena oleh pihak perusahaan (Kompas, 30/5). Hingga awal 2012, aliran listrik belum juga tersambung.
Hadir
Mencermati latar belakang konflik agraria dan sumber daya alam yang terjadi belakangan ini, termasuk yang terjadi di Mesuji, Lampung, dan Bima, NTB, aksi pendudukan (occupy) PT AWS oleh petambak plasma eks Dipasena dapat dipahami akarnya, yakni absennya instrumen negara menjalankan fungsi dan tugas kostitusionalnya: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Sesungguhnya, terdapat tiga keutamaan tambak udang eks Dipasena bagi Indonesia. Pertama, luas lahannya yang telanjur mencapai 16.250 hektare telah menempatkan Dipasena sebagai salah satu tambak udang terbesar di dunia.
Jika dikelola dengan baik, program pemerintah meningkatkan produksi hasil perikanan hingga 353 persen pada 2014 dapat dilakukan tanpa mengonversi (baca: menghancurkan) ekosistem pesisir lain di Indonesia.
Kedua, didukung 7.512 petambak yang memiliki kemauan dan keahlian (skill) dalam mengelola tambak udang terintegrasi. Tercatat, sedikitnya 45.000 jiwa menggantungkan kelangsungan kualitas hidupnya pada produktivitas tiap petak tambak. Ketiga, komoditas udang merupakan salah satu primadona ekonomi perikanan dunia. Bahkan, kerap disebut sebagai “emas-putih”.

Di Indonesia, berdasarkan data BPS hingga Agustus 2011, diketahui perdagangan produk perikanan Indonesia didominasi komoditas udang, dengan nilai mencapai US$ 632,6 juta atau setara dengan 42 persen total nilai perdagangan perikanan Indonesia.
Karena itu, kehadiran pemerintah untuk mengambil alih dan menyelamatkan tambak udang eks Dipasena adalah keputusan strategis. Apalagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat memasukkan program revitalisasi tambak Dipasena ke dalam agenda 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid pertama (2004-2009)—dan belum terlunasi hingga saat ini.
Pemerintah dapat mengawali 2012 dengan menyalakan aliran listrik. Dengan begitu, ribuan hektare tambak dapat kembali berproduksi, sekitar 15.000 anak dapat belajar dengan layak, dan kehidupan 45.000 keluarga petambak dapat kembali normal.

Tidak cukup, pemerintah juga harus mengupayakan tindakan hukum terhadap berbagai pelanggaran yang telah dilakukan perusahaan kepada seluruh petambak dan pemerintah Indonesia. Ini juga termasuk mengganti seluruh kerugian—baik  materiil maupun non-materiil—akibat kegagalan perusahaan menyelesaikan program revitalisasi tambak eks Dipasena.
Harapannya, hak-hak rakyat petambak dapat segera pulih. Di saat yang sama, memberi kepastian tidak ada investasi lain yang “berbuah” kejahatan di bumi Indonesia. Tanpa keteladanan tersebut, investasi akan selalu memiskinkan!
*Penulis adalah Sekretaris Jenderal KIARA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar