13, 06, 2012.
(Jakarta, 12 Juni 2012) Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk
Keadilan Iklim (CSF) mengkritik agenda pertemuRio+ 20 yang akan
dilangsungkan di Brazil pada 13-23 Juni 2012. Agenda pertemuan Earth Summit tersebut tidak menjawab problem
utama kerusakan bumi, justru akan melanggengkan sistem ekonomi neoliberal
dengan sekedar menempelkan kata hijau tanpa merubah orientasi pembangunan yang
eksploitatif.
Ekonomi Hijau yang didengungkan justru mendorong perluasan privatisasi, komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam, merampas sumber-sumber kehidupan rakyat dan memperkuat penindasan terhadap perempuan serta menghancurkan keragaman hayati, termasuk Perdagangan karbon, tukar guling kawasan atau biodiversity offset yang mengemuka dalam perundingan-perundingan global.
Ekonomi Hijau yang didengungkan justru mendorong perluasan privatisasi, komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam, merampas sumber-sumber kehidupan rakyat dan memperkuat penindasan terhadap perempuan serta menghancurkan keragaman hayati, termasuk Perdagangan karbon, tukar guling kawasan atau biodiversity offset yang mengemuka dalam perundingan-perundingan global.
Hal itu akan
mengulang kegagalan deklarasi Pembangunan Berkelanjutan yang justru memperluas
kerusakan lingkungan, percepatan pemanasan
global dan membahayakan keselamatan penghuni bumi. Nelayan, Petani, Masyarakat adat, Buruh, Kamu Miskin kota,
Perempuan, Peman uda dan anak-anak mengalami
dan menjadi saksi menurunnya keselamatan
rakyat dan kualitas lingkungan dari waktu ke waktu. Sementara hasil-hasil
Perundingan internasional Perubahan Iklim tak menggembirakan karena selalu
menghasilkan dokumen perundingan tanpa
kewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca bagi negara-negara industri.
Masyarakat
Sipil melihat Perserikatan Bangsa-Bangsa melemah bersama dominasi
korporasi-korporasi jahat dan lembaga keuangan internasional (IFI’s). Khususnya sejak PBB menggalakkan UN
Global Compact lebih satu dekade lalu. Sehingga hampir seluruh perundingan
tingkat dunia tidak membuat peta jalan
bumi yang lebih baik, justru mengarah pada komodifikasi sumberdaya alam. Itu
artinya perampokan kekayaan alam yang tersisa di negara-negara selatan akan
semakin masif.
Indonesia
sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam perundingan Rio+20, cenderung
mengikuti arus besar kekuasaan modal korporasi. Dalam perundingan nanti,
Pemerintah justru membuka pintu selebar-lebarnya bagi investasi untuk mengeruk
kekayaan alamnya melalui kampanye “Indonesia Harta Karun Dunia”. Dua dokumen
yang disiapkan, “Indonesia and Rio+20”
dan “Submission by the Government of the
Republic of Indonesia to the Zero Draft of UNCSD 2012 Outcome Document” "menawarkan" sumber daya kelautan dalam gagasan ekonomi
biru (blue economy), pengelolaan
hutan, keragaman hayati dan lahan gambut, melalui Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) yang "dihijaukan” termasuk di dalamnya REDD untuk hutan, Coral Triangle Initive (CTI) untuk
kelautan.
Masyarakat
sipil menyayangkan sikap Pemerintah yang justru mempromosikan berbagai kegiatan
cuci dosa “greenwash” korporasi
perusak lingkungan dan pelanggar HAM, diantaranya melalui Paviliun Indonesia
yang disponsori perusahaan-perusahaan perusak lingkungan macam Freeport dan Asia
Pulp and Paper.
Masyarakat Sipil menyerukan pentingnya komitmen Negara-negara peserta KTT Rio+20
untuk sungguh-sungguh memikirkan nasib penghuni bumi dan menghasilka tindakan
nyata bagi pemulihan sumber-sumber kehidupan yang lebih adil dan berkualitas.
Oleh karena itu kami menyatakan:
Pertama. Menuntut perubahan orientasi pembangunan
yang memastikan terjadinya pemajuan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi
Manusia, dan Hak Asasi Perempuan. Lewat
pembalikan orientasi pembangunan berkelanjutan yang neoliberal dan terbukti gagal, bahkan menjadi pemicu
krisis iklim yang kian memburuk dan mengancam keselamatan kolektif penduduk
dunia. Ke arah perubahan sistem ekonomi, moda produksi dan konsumsi yang
sejalan dengan batas daya dukung bumi.
Kedua, Menolak Green Economy yang dibangun dalam kerangka sistem ekonomi
neoliberal, dan akan mendorong perluasan privatisasi, komodifikasi dan
finansialisasi sumber daya alam yang merampas sumber-sumber kehidupan rakyat
dan menghancurkan keragaman hayati dengan skema dan pertimbangan apapun,
termasuk perdagangan karbon, tukar guling kawasan atau biodiversity offset yang
mengemuka dalam perundingan-perundingan global[1].
Pemerintah harus menjamin akses yang adil terhadap sumberdaya alam khususnya
bagi masyarakat lokal.
Ketiga, Mendesak Pemerintah secara konsisten
menjalankan Agenda 21 berdasarkan
prinsip – prinsip yang tertuang dalam Deklarasi Rio, terutama keadilan gender dan pengakuan terhadap
masyarakat adat, kehati-hatian dini, respon dan tanggung jawab sama tapi
berbeda, "pelunasan utang
ekologis" sebagai sebuah bentuk tanggungjawab atas yang telah dilakukan oleh negara-negara industri
dan korporasi dan lembaga keuangan internasional terhadap negara miskin
dan berkembang, serta memperkuat prinsip
akses (akses terhadap informasi, akses terhadap partisipasi publik, serta akses
terhadap keadilan ekologi)
Keempat. Menuntut Pemerintah tidak bekerjasama
dengan perusahaan perusak lingkungan dan pelanggar HAM, serta lembaga keuangan
internasional untuk pendanaan negosiasi
dan pencitraan yang mengatasnamakan keberlanjutan ekosistem, pelestarian lingkungan dan pengentasan kemiskinan
Kelima. Mendesak Pengurus Negeri merealisasikan
komitmen pembentukan konvensi mengenai
Prinsip 10[2], prinsip
20[3], prinsip
22[4]
Deklarasi Rio dan mendorong implementasi Pasal 65 ayat (2) UU No. 32 tahun 2009v
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup[5].Kontak Media : Siti Maimunah, Koordintor CSF, 0811920462.
[1] Siaran Pess Bersama, Koalisi untuk Selamatkan Bumi, Special Session of The UNEP Governing
Council/Global Ministerial Environment Forum (GC-UNEP) ke 11 yang berlangsung
di Nusa Dua Bali pada tanggal 22-26 Februari 2010
[2] Prinsip 10 Rio berbunyi: “Environmental issues are best handled with the participation of all concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information concerning the environment that is held by public authorities, including information on hazardous materials and activities in their communities, and the opportunity to participate in decision-making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and participation by making information widely available. Effective access to judicial and administrative proceedings, including redress and remedy, shall be provided”.
[3] Prinsip 20 Rio: Women have a vital role in environmental management and development. Their full
participation is therefore essential to achieve sustainable development.
[4] Prinsip 22: Indigenous people and their communities, and other local communities, have a vital role in environmental management and development because of their knowledge and traditional practices. States should recognize and duly support their identity, culture and interests and enable their effective participation in the achievement of sustainable development.
[5] Pasal 65 ayat (2) UU No. 32 tahun 2009: Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, aksesinformasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Sumber: http://indo.jatam.org/saung-pers/siaran-pers/, 12 June 2012.
(Bihis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar