Oleh : Lily Rusna Fajriah (Relawan JATAM)
Lunturnya Sebuah Tradisi.
“
Selamatkan Hutan Dairi !!! “ singkat namun mampu mewakili keinginan
seluruh masyarakat Dusun Lae Maromas di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.
Hal tersebut diungkapkan oleh
Anward Nababan, seorang relawan RALC
JATAM yang berasal dari Persekutuan Diakonia Pelangi Kasih (PDPK) Dairi.
Tradisi masyarakat Dairi yang menganggap hutan sudah menjadi bagian
dari kehidupan mereka membuatnya tidak sembarangan melakukan aktivitas
di dalam hutan. Ada aturan bersama yang telah disepakati dan harus
dipatuhi ketika akan melakukan aktivitas di dalam hutan.
Kepercayaan
masyarakat Dairi terhadap adanya para roh leluhur di dalam hutan juga
menjadi alasan mengapa hutan dianggap sacral dan perlu untuk dilindungi.
Hutan tidak hanya menjadi sumber perekonomian, namun ada fungsi budaya
yang sudah tertanam sejak nenek moyang. Pemilik Hak Ulayat Tanah atau
kelompok marga yang pertama kali bermukim di daerah tersebut
dijadikannya sebagai Raja (penghulu) dan dialah yang menjadi penentu
lokasi yang boleh dijadikan tempat berladang.
Anward
menambahkan, “Kalau mau mengambil hasil hutan atau berladang harus ada
permisi dulu. Ada ritualnya dengan membawa satu ekor kambing ukuran
besar, tepung beras, dan ayam yang kemudian dimasukkan kedalam tandok
terus diantar ke hutan. Setelah diantar ke hutan, bawaan tersebut sudah
menjadi milik penghuni hutan itu. “.
Kearifan
lokal yang ada dalam tradisi masyarakat Dairi seperti ini tertanam dan
dijunjung tinggi sebagai sebuah kepercayaan agama tradisional pada
periode sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Pengelolaan hutan dalam
fungsi ekonomis dan fungsi budaya berjalan dengan baik oleh karena itu
keseimbangan lingkungan pun tetap terpelihara dengan baik.
Namun
seiring diperolehnya kemerdekaan oleh Indonesia dan gencarnya
pembangunan yang dilakukan menjadikan tradisi ini semakin memudar.
Pengakuan terhadap Hak Ulayat Tanah pun ikut memudar dan menjadikan
persepsi masyarakat terhadap hutan berubah. Fungsi ekonomis yang kini
lebih dominan, terlebih ketika dikeluarkannya izin HPH kepada para
pengusaha. Eksploitasi besar – besaran tidak terbendung, masyarakat
kehilangan kontrol sama sekali terhadap hutan dan tidak dapat melakukan
apa – apa untuk melindungi hutan seperti yang telah dilakukan selama
ini, sebagian justru lebih memilih bekerja untuk pengusaha – pengusaha
tersebut.
Semakin Hilang Ketika Tambang Datang
Kisruh
soal lunturnya sebuah tradisi turun temurun masyarakat Dairi kentara
dirasakan oleh warga Dusun Lae Maromas, Kabupaten Dairi sejak kedatangan
PT Dairi Prima Mineral (PT DPM) yang mencoba mengeruk keuntungan dari
potensi alam yang ada di daerah tersebut.
Kabupaten
Dairi yang menjadi salah satu kawasan Ekosistem Leuser menjadi incaran
anak perusahaan pertambangan Bumi Resources tersebut dengan targetan
utama pertambangannya adalah Seng dan Timah. Selain PT Dairi Prima
Mineral, beberapa warga Dusun Lae Maromas ada pula yang memanfaatkan
hasil hutan dengan mengambil batu timah secara illegal yang kemudian
akan dijual kepada investor.
“ Kami
melihat tambang di daerah lain banyak merugikan masyarakat, yang
mematikan dan menghilangkan sumber ekonomi masyarakat. Sudah banyak
masyarakat yang menjual tanah hanya dengan harga Rp. 17.500 per meter.
Dari situ niat awal kami mengapa ingin membantu warga Lae Maromas.
Mendampingi masyarakat agar tidak gampang dibodoh-bodohi oleh penambang
itu. “ ungkap Anward, saat ditanya soal keinginannya bersama PDPK untuk
mendampingi warga Dusun Lae Maromas menghadapi para penambang.
PT
Dairi Prima Mineral hadir sejak tahun 1998 diawali dengan tahapan
eksplorasi melalui kegiatan survey tentang kandungan yang terdapat di
semua hutan di Dairi termasuk hutan lindung dan hutan produksi. Kemudian
di tahun 2003 perusahaan tersebut sudah membuat tapak – tapak bor di
wilayah Dairi. Sekitar tahun 2007 kegiatan pemboran dihentikan. Namun
selang satu tahun kemudian di tahun 2008 perusahaan pertambangan itu
kembali melanjutkan kegiatannya di Gunung Payung dan Gunung Pantar.
Tahun
2010, kegiatan pertambangan yang dilakukan PT Dairi Prima Mineral
memakan korban. Dilaporkan 12 orang meninggal dan sekitar bulan Juni
2011 korban bertambah, 4 orang meninggal dan 14 orang lainnya sekarat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Persekutuan Diakonia Pelangi
Kasih, gejala yang timbul hampir sama yaitu mual, kram, demam, dan
keringat berlebih.
Berita soal
meninggalnya masyarakat Dairi yang mendadak itu tidak mendapatkan
tanggapan serius dari Pemerintah daerah Kabupaten Dairi. Mereka justru
mengatakan akan mengurbanisasikan masyarakat Dairi ke tempat lain jika
menganggap kehadiran PT Dairi Prima Mineral itu membawa dampak yang
tidak baik bagi masyarakat.
“
Pemerintah bodoh dan tidak bertanggung jawab mengatakan hal itu. Sekda
tidak memikirkan lagi apa yang mau dikatakan. Warga sudah lama tinggal
di Lae Maromas, hidup disana dan bermata pencaharian dari tanah Lae
Maromas, itu juga yang menjadi alasan kenapa kita mau membantu mereka.
Mempertahankan hak mereka terhadap tanah Lae Maromas “ tegas Anward
menanggapi ketidakpedulian pemerintah setempat.
Walaupun
baru hadir pada tahun 2008 ketika eksploitasi yang dilakukan oleh PT
Dairi Prima Mineral sudah terjadi, namun Anward mengungkapkan bahwa
dirinya dan Persekutuan Diakonia Pelangi Kasih tetap akan membantu
masyarakat Dairi khususnya Dusun Lae Maromas untuk merampas hak mereka
dari keserakahan para pengusaha tambang. (ly)
Sumber :
1. Dewan Koordinator INSUFA. 2012. Antologi Para Pemberdaya. 2012. Surakarta. Yakkum Press.
2.
Iskandar Sembiring dkk. 2004. Kearifan Tradisional Perlindungan Hutan
di Kabupaten Dairi. Medan. Program Studi Kehutanan Universitas Sumatera
Utara.
3. Wawancara oleh Anward Damaris Nababan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar